Wednesday, 15 April 2009

Terlahir Merdeka

Ada yang sangat aku sukai dari namaku, yaitu bahwa nama ini tidak memberikan embel-embel citra akan sebuah kelompok etnis atau ras. Tidak juga dengan sewenang-wenang mengklaim bahwa aku adalah "milik" seseorang atau sekelompok orang, atau dengan tidak berperikemanusiaan meletakkanku pada kelas tertentu di dalam masyarakat.

Aku, seperti manusia lainnya di dunia, terlahir merdeka. Mungkin kedua orang tua dan keluarga besarku sangat memaklumi hal ini sehingga tidak satu pun dari mereka melakukan klaim atas diriku dengan membubuhi nama mereka di belakang namaku, bahkan walaupun mereka memiliki kesempatan itu pada saat aku belum mampu berpikir untuk memilih.

Walaupun pada usia belasan aku pernah berpikir betapa malangnya aku karena tidak memiliki nama keren seperti tokoh kartun atau seperti para model di majalah remaja pada masa itu, namun akhirnya aku paham bahwa nama seseorang biasanya mengandung muatan romantisme milik ke dua orang tuanya atau merupakan manifestasi doa dan harapan besar. Kini aku cukup berbahagia dengan namaku.

Sesi 2 - kutipan diskusi dari blog lama di multiply:
Tulisan di atas adalah perspektifku tentang NAMA. Buah pikir, rasa dan gagas betapa merdekanya aku memiliki nama yang merupakan identitas pribadiku sejak lahir. Nama ini tidak meletakkan aku sebagai representasi sebuah kelompok manusia. Namaku menjadikanku aku.

Ide berbagi cerita tentang nama ini berawal dari obrolan dengan beberapa teman berkebangsaan Eropa dan China yang merasa takjub bahwa dari 3 penggal kata yang membentuk namaku, seluruhnya murni milikku sendiri. Seorang teman bernama belakang "Blunt" (dalam kamus Bahasa Inggris Oxford artinya: tumpul) menyampaikan kekesalannya bahwa nama belakangnya itu seringkali menjadikan dia sasaran celaan teman-temannya semasa kecil (padahal, percayalah: he's very sharp and thoughtful).*

Seorang pembaca "Terlahir Merdeka" di multiply menegurku, beliau mengingatkan bahwa sangat tidak mungkin bila aku menganggap diriku merdeka hanya karena nama, karena manusia hidup di dunia harus mematuhi aturan dunia. Aku setuju dengan pendapat tersebut. Aku tahu bahwa hidup di dunia manusia yang beradab, kita akan (dihadapkan pada pilihan) menjalankan serangkaian peraturan-manusia. Contohnya, aku tidak keberatan ketika database kampus mengenaliku hanya sebagai "trp08iz", tentu saja karena aku paham bahwa aku telah menjadi bagian dari populasi kampusku dan harus menghargai sistem dan peraturan yang berlaku agar studiku berjalan lancar dan cita-cita tidak terhambat (hahaha..).

Kritik oleh seorang pembaca di multiply juga menyinggung-nyinggung tentang hukum rimba. Jujur saja, sebenarnya aku bingung, kenapa dari bahasan tentang nama yang merdeka, lalu ada yang menghubung-hubungkan dengan rimba ya?? Nah, kalau ditanya tentang hukum rimba aku percaya bahwa kalau pun kita hidup di hutan belantara tetap ada hukum dan tradisi yang harus dihormati dan dijalankan. Misalnya, hukum rimba yang paling terkenal adalah "natural selection" atau "survival of the fittest" yaitu hukum yang menegaskan bahwa siapa yang kuat dialah yang bertahan dan selamat. Namun, sayangnya, hukum rimba belantara tersebut tidak mementingkan nama melainkan berpijak pada kekuatan fisik dan strategi bertahan ala rimba belantara sehingga tanpa mengurangi rasa hormatku pada sang kritikus, aku terpaksa berkesimpulan bahwa beliau telah salah kaprah.

Dalam tulisan awal tentang nama, aku sama sekali tidak berbicara tentang Tuhan. Tapi menarik juga karena sebuah kritik dari pembaca tulisanku, aku lalu menyadari bahwa Tuhan yang aku sembah (dalam keyakinan kami) tidak mengalokasikan surga dan neraka berdasarkan nama manusia melainkan berdasarkan: perlakuan kami terhadap makhluk hidup lain di dunia, perlakuan kami terhadap dunia itu sendiri, dan cara kami mengungkapkan syukur dan beribadah pada-Nya. Dalam agama yang aku yakini, semua manusia (tanpa pandang nama) berhak berdiri di baris depan untuk menyembah Tuhan kami (atau, meminjam istilah "pasar": siapa cepat dia dapat! ;p).

Aku senang berbagi perspektif, bukan berarti bahagia menjejali pembaca tulisanku dengan obrolan 'koran bungkus kacang'. Tulisan menjadi tidak hidup dan tidak memiliki karakter tanpa apresiasi orang lain. Aku berterima kasih pada semua orang yang mau meluangkan waktu dan mengomentari tulisanku. Apapun isi kritiknya. Aku yakin semua manusia berhak mengembangkan perspektifnya sendiri tentang berbagai hal dan aku menghargainya. Berkaitan dengan nama, ketika ada orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan nama belakang (warisan nenek moyang) dengan alasan "I don't belong to that name", bagiku itu sah-sah saja selama si pengambil keputusan sadar akan resiko dan tanggung jawab yang akan dipikulnya.

Di luar ekspektasiku ketika menuliskan gagasan tentang nama yang merdeka, diskusi panjang tentang nama dan kemerdekaan lahir manusia ternyata mengarahkan aku, pembaca, dan pemberi kritik pada hidup dan peraturan-peraturan yang membungkusnya. Menurutku pribadi, hidup akan selalu tentang menentukan pilihan. Berikut sebuah strategi yang sering aku praktekkan berkaitan dengan menentukan pilihan: ketika hati terasa sempit dan pikiran tidak lagi dapat menemukan pilihan-pilihan, maka membacalah!
IQRA! demikian Tuhan kami berpesan, bacalah segala sesuatu di alam ini, baik yang tersurat maupun tersirat. Membaca bukan berarti literal membaca buku atau kitab saja, tapi juga berdoa, lalu membaca petunjuk Tuhan yang tersirat dalam laku duniawi.

Sekali lagi terimakasih atas kunjungan & apresiasinya. Diskusi tentang nama belum aku anggap selesai, tulisan ini masih terbuka untuk ditanggapi dan diskusi dapat dilanjutkan kapan saja!
:)

Salam hangat!
18 Oktober 2008

*Beberapa bulan setelah tulisan ini selesai, aku menemukan berita menarik di internet tentang mulai punahnya beberapa nama belakang (surname) tradisional British dengan alasan bahwa nama-nama tersebut sudah terlalu kuno dan beberapa malah mengandung makna konotatif (seperti kisahku tentang "Blunt") yang membuat si pemilik enggan menggunakannya. Berita lengkapnya bisa dilihat di:
http://www.metro.co.uk/weird/article.html?Britain_running_out_of_Cocks&in_article_id=598012&in_page_id=2
Silakan copy & paste link tersebut ke browser Anda. Selamat membaca!


Sesi 3 - Perbincanganku dengan Ed Ferrari, Kamis, 23 April 2009
Karena butuh untuk mencantumkan nama Ed di dalam formulir aplikasi Research Ethics Approval, aku menanyakan nama asli Ed apakah hanya "Ed" saja atau seharusnya tertulis sebagai "Edward". Sambil tertawa Ed berkata bahwa dia lebih suka bila namanya tertulis sebagai "Ed" saja, walaupun nama resminya di paspor adalah "Edward". Kami lalu membahas tentang pergeseran penggunaan nama lengkap di Great Britain, dia menunjukkan contoh seorang Professor rekan riset-nya memilih mencantumkan inisial 3 nama depan + 1 nama belakang dengan sisipan dalam kurung nama panggilannya, sehingga kira-kira jadinya begini: AXY (Tony) Sumthin, tertulis di makalah ilmiah yang dipublikasikan secara nasional di UK.
"Tony" adalah nama pendek si Professor dari A = Anthony.
"Formality has become history," ujarnya seraya tersenyum lebar.

Aku lalu menjelaskan pada Ed, bahwa di negaraku kami lazim menggunakan nama lengkap tanpa menyingkat nama tengah, bahkan sebagian besar orang tidak memiliki nama keluarga atau nama belakang yang baku (surname). Walaupun di beberapa daerah dan beberapa suku di Indonesia penggunaan nama belakang adalah wajib secara adat dan tradisi. Dia kelihatan sangat terkejut,
"I never know that! How do you do that??"

Aku maklum dengan keterkejutan Ed, di negaranya semua daftar dan sistem disusun secara runut menggunakan alfabet dari nama-nama belakang. Tentu saja dia bingung membayangkan apa yang terjadi bila sebuah negara tidak mewajibkan warganya menggunakan nama belakang (surname).
Dengan senyum bangga aku menambahkan bahwa nama belakangku adalah milikku sendiri bukan nama belakang milik keluarga atau sejenisnya,
"I don't belong to any clan or anything. I'm a free entity"
Masih dengan nada takjub Ed bergumam,
"Whao, isn't it good to be free?"

Percakapan 2 jam yang cair itu pun berakhir di situ, karena aku harus buru-buru kembali ke flat untuk menyelesaikan beberapa essay yang tertunda.

Di luar, matahari musim semi seolah-olah ingin memanjakan setiap orang yang lelah berkurung dan menjerang tubuhnya dengan pemanas ruangan selama musim dingin lalu. Forum Cafe mulai menggelar kursi-kursi lipatnya yang baru di pavement sudut Timur-Laut taman Devonshire untuk penikmat sajian di luar ruang. Di lapangan berumput di bagian Selatan, orang-orang berbaringan untuk mandi sinar matahari di antara pohon-pohon cherry blossom putih.

Hari yang menyenangkan!

No comments:

Post a Comment