Thursday 19 November 2009

Cerita Yahwa

"Cerita Yahwa" adalah petikan obrolan saya, dan seorang teman (bernama: Isma) anggota tim Pelatihan Penelitian Perubahan Iklim dan Kemiskinan, dengan seorang tokoh masyarakat di Kampung Iboih, Sabang.

Obrolan lapangan ini awalnya direkam dalam bentuk audio, yang lalu saya transkrip dan transformasikan ke dalam tulisan sederhana. Diskusi kami dengan Yahwa dilakukan pada garis waktu yang berdekatan dengan tulisan saya yang bertajuk "Pembangunan untuk siapa?"yang bisa diakses di:http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2009/11/pembangunan-acakadut.html


Iboih – Teupin Layeu | Kamis, 5 November 2009 | Pukul 16-an (sore) hingga selesai


Profil Tokoh dan Sejarah Singkat Kampung

Ini adalah rekaman wawancara dengan Bapak Ishak Idris (oleh masyarakat setempat beliau akrab dikenal sebagai: Yahwa), mantan Panglima Laot Iboih, berusia 73 tahun. Yahwa pernah menjabat sebagai Panglima Laot di wilayah Iboih selama lebih kurang 35 tahun. Beliau kemudian secara bersamaan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Panglima Laot, kepala lingkungan dan tuha peut karena merasa sudah tua, cepat letih dan tidak lagi mampu menangani terlalu banyak masalah komunal dalam waktu bersamaan. Walaupun mengaku buta aksara namun karisma Yahwa membuat pemerintah lokal mengangkatnya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang saat ini telah memasuki masa pensiun dan senioritas beliau di bidangnya membuatnya masih terlibat dalam upaya-upaya penegakan konservasi lingkungan laut di wilayah Iboih hingga saat ini.


Yahwa bersemangat menceritakan pengalaman hidupnya kepada kami
(Photo credit: Iin RZ)

Yahwa adalah satu dari sekitar 15 KK yang saat ini mendiami kampung Iboih di wilayah Teupin Layeu yang berbatasan langsung dengan laut dan pantai. 15 KK yang bermukim di Teupin Layeu adalah keluarga yang tersisa dan memilih untuk menetap di kawasan ini, tidak pindah bersama keluarga lain dalam program relokasi kampung yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemkot Sabang) pada sekitar tahun 1997.

Relokasi warga Teupin Layeu yang dilaksanakan sekitar tahun 1997 tersebut bertujuan untuk menghindarkan generasi muda kampung wisata laut itu dari ancaman degradasi sosio-kultural di lingkungan wisata yang cenderung rentan terhadap infiltrasi budaya asing (western). Sebagian besar warga bersedia dipindahkan ke kampung baru bernama Lamnibong yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Teupin Layeu. Di kampung baru tersebut warga diberikan sebidang tanah beserta rumah tinggal yang dibangun dengan material kayu/papan. Hanya beberapa KK saja yang tidak ikut pindah, yang menurut keterangan seorang warga lokal, mereka tidak pindah karena memiliki usaha yang sudah berkembang di Teupin Layeu.

Cerita Yahwa

Yahwa, yang sejak usia 16 tahun sudah menjadi nelayan pemancing ikan ini, menjelaskan bahwa perubahan musim angin Timur mulai dirasakan terjadi di wilayah ini sejak tahun ini (2009). Angin Timur biasanya terjadi pada bulan Desember hingga April sedangkan Angin Barat biasanya mulai berhembus pada bulan Mei hingga November. Namun tahun ini angin Timur sudah mulai berhembus sejak awal bulan November dan sulit diprediksikan akan berlangsung selama berapa lama. Perubahan angin berpengaruh pada perubahan arus laut dan suhu air laut yang kemudian berdampak pada pola migrasi ikan dan hasil tangkapan. Beliau menambahkan bahwa bila suhu air laut rendah (dingin) maka hasil tangkapan cenderung sedikit, sedangkan bila suhu air laut hangat nelayan cenderung bisa menangkap ikan dalam jumlah yang lebih besar. Yahwa memperkuat dugaan akan terjadinya perubahan dengan menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan (jenis Geureugak, ikan mata merah, bilis) tahun ini juga mengalami penurunan. Beliau menjelaskan bahwa akan sulit menemukan ikan-ikan besar (jenis tongkol, tuna) bila populasi ikan-ikan kecil mengalami penurunan di wilayah perairan tempat mereka biasa memancing ikan.

Dari wawancara kami dengan Yahwa, beliau menjelaskan bahwa masyarakat di wilayah Teupin Layeu ini tidak menggantungkan pendapatan keluarganya hanya dari hasil tangkapan ikan laut. Sebagian besar penduduk mengandalkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama yang biasanya aktifitasnya dilakukan pada siang hari, sedangkan aktifitas memancing ikan dilakukan pada malam hari. Penghasilan dari aktifitas pariwisata diperoleh melalui penyewaan perahu kepada pengunjung yang digunakan untuk menyeberang ke Pulau Rubiah, dengan tarif Rp150.000/trip (pulang-pergi), atau disewakan untuk para pemancing ikan dari luar daerah. Menurut Yahwa rata-rata warga Teupin Layeu memiliki boat/kapal kecil untuk melayani penyeberangan ke Pulau Rubiah. Boat-boat tersebut merupakan modifikasi dari boat fiber bantuan tsunami yang ditambahi 2 baris tempat duduk yang berhadapan dan diberi atap untuk kenyamanan penumpang boat. Boat-boat bantuan tsunami tersebut mereka beli dari nelayan lain yang mendapat program bantuan misalnya di Banda Aceh. Yahwa berpendapat bahwa boat-boat fiber tersebut lebih tahan lama dibandingkan boat kayu tradisional yang biasanya mereka buat sendiri. Boat kayu cenderung rentan terhadap serangan hama kayu yang membuat boat cepat bocor, sedangkan boat fiber lebih kuat dan tidak terancam hama. Kebocoran pada boat fiber hanya terjadi bila pengemudi boat tidak berhati-hati sehingga boat bersinggungan dengan karang.


Dermaga sandaran perahu penyeberangan ke Pulau Rubiah
(Photo credit: Iin RZ)

Yahwa menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir pengunjung/turis domestik (dari Jakarta, Medan, Banda Aceh, dsb.) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan turis manca negara. Selain dari penyewaan perahu, pemasukan warga lokal juga diperoleh melalui bisnis penginapan dan warung. Namun saat ini ada banyak pihak dari luar Teupin Layeu yang ikut meramaikan bisnis penginapan di kampung ini dengan fasilitas dan pelayanan yang menurut Yahwa jauh lebih baik dibandingkan dengan usaha yang dikelola oleh warga lokal. Kondisi ini ditambah dengan ketidakmampuan warga lokal untuk memperbaiki mutu pelayanannya (misalnya menjaga standar kebersihan dan keramahtamahan) membuat usaha milik warga lokal sulit bersaing.

“Dulu orang asing yang datang kesini mau menginap di penginapan punya orang kampung karena tidak ada pilihan. Sekarang mereka sudah punya pilihan karena banyak orang dari luar kampung yang membuka usaha penginapan di sini, tentu saja mereka memilih penginapan yang lebih bersih dan bagus.”


Turis asing tengah menikmati suasana pantai di Iboih
(Photo credit: Iin RZ)

Menurut Yahwa tidak pernah ada program atau penyuluhan lapangan dari Dinas Pariwisata untuk peningkatan kualitas pariwisata di wilayah tersebut. Yahwa menambahkan bahwa karakter masyarakat kampung Teupin Layeu ini “keras” dan tidak ramah karena mereka berpendidikan rendah. Rata-rata warga berpendidikan tertinggi tingkat SLTA.

Yahwa berpendapat hingga saat ini warga di permukiman tersebut belum terpengaruh atau belum terganggu oleh kenaikan muka air laut, pasang air laut, maupun banjir. Rumah-rumah di wilayah perkampungan yang terlihat tinggi atau ditinggikan sekitar 1 meter dari tanah adalah merupakan tanggapan terhadap kontur perkampungan yang berbukit atau menanjak dari pantai ke gunung. Peningkatan level lantai di bagian depan rumah/bangunan adalah upaya untuk menghindari genangan air di lantai akibat run-off dari wilayah gunung di belakang rumah bila terjadi hujan. Selain pantai dan laut, kampung Iboih juga dibentuk oleh kawasan hutan, perkebunan (kelapa dan cengkeh) dan tambak.

Sumber air bersih di Teupin Layeu adalah 1 buah sumur komunal yang dulunya diupayakan penggaliannya oleh seorang ulama (Yahwa menyebutnya dengan sebutan “aulia”) dari Banda Aceh. Di sekitar sumur tersebut dibangun 2 buah cubicle (peturasan) masing-masing untuk perempuan dan laki-laki. Volume air di sumur ini cenderung stabil, namun setiap rumah tangga harus mengangkat air untuk kebutuhan harian rumah tangganya dari sumur ini ke rumah masing-masing dengan menggunakan timba. Yahwa sendiri sekarang sudah memiliki sumur sendiri di rumahnya, biaya pembuatan sumur tersebut tergolong besar dan menghabiskan danasekitar Rp4.000.000 dengan kedalaman mencapai 19 buah munjeng atau cincin sumur. Tinggi permukaan air sumur rata-rata adalah sedalam 3 cincin sumur dari permukaan. Dengan kondisi sumur yang terbuka atau tidak diberi tutup dan atap, volume air sumur bisa mengalami penambahan bila terjadi hujan. Menurut Yahwa rasa air sumur cenderung tawar atau tidak sadah (istilah lokal “lagang”: menggambarkan rasa air tawar yang sedikit asin karena mengandung garam). Ketika terjadi tsunami 2004 air sumur komunal tersebut sempat tercemar oleh air laut yang dibawa gelombang tsunami ke daratan namun kemudian warga membersihkan sumur dengan cara manual, yaitu menguras seluruh air sumur dengan menggunakan timba hingga air sumur bersih kembali.

Persampahan telah ditangani oleh Pemkot Sabang, sekitar 2 kali dalam seminggu truk sampah masuk ke lokasi permukiman untuk mengumpulkan sampah warga. Tidak ada mekanisme khusus untuk pemilahan sampah organic dan non-organik serta tidak ada pihak yang khusus datang untuk mengumpulkan plastic bekas kemasan air mineral.

Sebagaimana telah disebutkan di bagian “Profil Tokoh dan Sejarah Singkat Kampung di atas, bahwa sebagian warga kampung ini telah menjalani proses relokasi pada sekitar tahun 1997, Yahwa menjelaskan alasan beliau dan keluarganya tidak ikut pindah ke Lamnibong adalah karena menurutnya kampong baru tersebut jauh dari pantai.

“Alat transportasi Saya ya kaki Saya ini. Sesekali pada pagi hari Saya berkunjung ke Lamnibong untuk ngopi, tapi setelah itu Saya kembali ke Teupin Layeu. Susah kalau tinggal di sana, kalau Saya ada janji jam 4 harus ke Teupin Layeu dengan berjalan kaki dari Lamnibong ke sini [Teupin Layeu] bisa-bisa jam 5 Saya baru sampai di sini.”

Selain masalah transportasi, menurut Yahwa pikiran beliau tidak bisa berkembang dan terbuka bila tinggal di Lamnibong. Yahwa menambahkan bahwa sebagian besar warga yang pindah ke kampong baru tersebut adalah warga yang sejak dulu memang tidak memiliki rumah (keluarga/pribadi) di Teupin Layeu, sedangkan keluarganya memiliki sertifikat tanah hak milik yang resmi dari agraria (Badan Pertanahan Negara).

Dalam diskusi kami yang mengaitkan antara dampak pemanasan global terhadap mencairnya es di kutub dan pengaruhnya terhadap kenaikan muka air laut, Yahwa berpendapat bahwa cairnya es di kutub hanya akan berpengaruh terhadap ketinggian air laut di sekitar wilayah Eropa. Pemahaman beliau adalah dengan perbedaan suhu antara wilayah Utara yang dingin dengan Aceh di bagian Selatan bumi yang panas, air yang berasal dari es yang mencair tersebut tidak akan sempat mencapai wilayah perairan Aceh karena terlanjur menguap (dalam perjalanan) akibat panas matahari.

Yahwa menunjukkan pemahaman yang memadai mengenai konsep konservasi terumbu karang dan kaitannya terhadap populasi ikan dan komoditi pariwisata andalan setempat yaitu taman laut. Menurut Yahwa sebagian besar warga Iboih berkomitmen tinggi untuk menjaga ekosistem laut dan menangkap ikan hanya dengan menggunakan pancing (benang pancing dan kait/mata pancing), karena mereka paham bahwa bila wilayah taman laut tersebut rusak maka tidak akan ada lagi pengunjung (di wilayah setempat lazim disebut sebagai “tamu”) yang datang ke lokasi itu yang tentunya akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat lokal. Yahwa juga sempat menyebutkan bahwa Pulau Rondo yang berada di sekitar perairan Pulau Wehmerupakan wilayah transit tetap berbagai jenis ikan yang bermigrasi. Namun demikian selalu ada saja pihak-pihak dari luar kawasan yang tidak menghormati tatanan ini dan berupaya menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak dan jala. Yahwa menyebutkan sudah berkali-kali beliau berhasil menangkap para pelaku pengrusakan tersebut dan banyak di antaranya yang kemudian dikenakan sanksi denda antara Rp5.000.000 hingga Rp10.000.000.

Yahwa berpendapat bahwa sebenarnya tidak sulit menjaga kawasan laut dari para pelanggar hukum [konservasi] karena saat ini teknologi telekomunikasi sudah berkembang pesat. Setiap warga atau pelaut yang melihat adanya pelanggaran di wilayah laut bisa dengan mudah menghubungi pihak berwenang dengan menggunakan telepon selular namun masalah utama di lapangan adalah seringkali pelaku pelanggaran memperalat warga lokal untuk kepentingan mereka sehingga hal ini mempersulit upaya penegakan hukum di lapangan.

Kesimpulan

Dari hasil wawancara kami dengan Yahwa kami berkesimpulan bahwa Yahwa adalah tokoh masyarakat yang berpengaruh tidak hanya dalam lingkungan masyarakat adat tetapi juga disegani oleh aparat pemerintahan lokal. Jiwa kepemimpinan yang beliau miliki adalah kombinasi yang menarik antara karakter pribadi dan pengetahuan yang berkembang secara alami melalui pengalaman lapangan selama puluhan tahun. Walaupun tidak mengenal tulis-baca, namun Yahwa sangat memahami konsep konservasi lingkungan laut dan bersama-sama masyarakat adat nelayan berjuang mempertahankan kelestarian taman laut di sekitar Iboih dari ancaman pengrusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan hasil perbincangan selama sekitar 2 jam-an tersebut kami juga berkesimpulan bahwa warga lokal belum merasakan adanya perubahan yang signifikan dari ketinggian muka air laut. Perubahan juga belum terjadi pada volume air sumur. Warga lebih merasakan adanya perubahan pola angin yang mulai terjadi tahun ini yang berpengaruh terhadap pola arus laut dan migrasi/populasi ikan. Selain itu penurunan jumlah hasil tangkapan nelayan mungkin saja terjadi akibat kerusakan ekosistem bawah laut, misalnya kerusakan terumbu karang, sehingga populasi ikan di wilayah sekitar lokasi survey mungkin menurun akibat degradasi lingkungan. Kemungkinan lain yang membutuhkan penelitian lebih lanjut yang akurat adalah hubungan antara kenaikan suhu udara dengan kenaikan suhu air laut dan kerusakan terumbu karang, karena kenaikan suhu air laut juga memungkinkan terjadinya kerusakan terumbu karang, misalnya seperti yang dikenal sebagai proses “bleaching” yaitu perubahan warna terumbu karang menjadi putih (biasanya terjadi secara massal) yang merupakan salah satu indikator kenaikan suhu air laut.


Contoh fenomena coral-bleaching


Skema proses terjadinya coral-bleaching


*Catatan Khusus:

Terumbu karang (coral) hidup bersimbiosis dengan sejenis alga laut yang sangat kecil yang disebut sebagai zooxanthellae. Terumbu karang melindungi zooxanthellae dari pemangsanya dan sebaliknya zooxanthellae yang merupakan produsen makanan akan memberikan sisa produksi makanannya bagi terumbu karang sebagai bekalnya hidup dan bereproduksi. Zooxanthellae mensuplai sekitar 90% energi yang dibutuhkan terumbu karang untuk bertahan hidup.

Coral Bleaching adalah proses lepasnya zooxanthellae dari karang induk-nya akibat kenaikan suhu air laut. Hal ini dapat terjadi bila kenaikan suhu air laut mencapai antara 1.5 sampai dengan 2 derajat dari suhu normal habitat terumbu karang dan berlangsung antara 6 sampai 8 minggu. Zooxanthellae, selain sebagai pensuplai makanan bagi terumbu karang juga merupakan "pengisi warna" yang menghasilkan warna-warni pada kelompok terumbu karang, sehingga ketika zooxanthellae meninggalkan karang induknya maka warna yang akan muncul adalah putih yang merupakan warna tulang si karang tersebut. Proses "pemutihan" inilah yang kemudian disebut sebagai "bleaching".


**Catatan Kaki:

Panglima Laot adalah sebutan bagi Pimpinan Masyarakat Adat Nelayan di Aceh.

Pembangunan untuk Siapa?

Sekitar dua minggu yang lalu, tepatnya antara 5-9 November 2009, saya dan 9 orang teman tim training Climate Change & Poverty yang diselenggarakan oleh International Centre for Aceh & Indian Ocean Studies (ICAIOS), didampingi oleh dua orang supervisor yang masing-masing adalah ahli ekonomi lingkungan dan ahli biologi kelautan, berkunjung ke Pulau Weh. Pulau Weh adalah pulau yang berada pada ujung paling Barat Indonesia. Di pulau yang beribukotakan Sabang ini bahkan terdapat tugu 0 (nol) kilometer yang pengukuran & penetapannya melibatkan Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) dengan prasasti yang ditandatangani oleh Prof. BJ Habibie pada tanggal 24 September 1997. Perjalanan ini merupakan bagian dari proses pembelajaran kami terhadap isu-isu seputar perubahan iklim dan kaitannya dengan kemiskinan.

Pengalaman yang paling membekas dalam ingatan saya adalah pengalaman kunjungan ke Kampung Krueng Raya. Sebuah perkampungan nelayan yang berada dalam wilayah Kota Sabang. Di kampung ini saya melihat perpaduan yang menarik antara isu sosio-ekonomi dengan bentang alam pesisir yang akrab dengan ancaman gelombang pasang dan angin kencang. Dalam jarak sekitar 500 meter dari bibir pantai kami melihat tanggul dengan konstruksi batu yang kelihatannya sudah berada pada tahap penyelesaian. Sekilas tentu saja proyek pembangunan tanggul tersebut terlihat wajar berada pada lingkungan pesisir demikian, terlebih lagi bila mengingat pasca-tsunami 2004 banyak sekali proyek-proyek fisik infrastruktur bencana yang berhubungan dengan laut di bangun di seluruh Aceh. Namun fakta mengejutkan kami peroleh dari warga yang tinggal di perkampungan tersebut. Mereka mengeluhkan kerusakan habitat pantai yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan tanggul tersebut yang berdampak terhadap perekonomian warga sekitar.

Tanggul laut yang baru dibangun tampak di kejauhan
(Photo credit: Iin RZ)

Beberapa orang warga yang kami temui menyebutkan bahwa sebelum proyek tersebut berjalan warga dengan mudah bisa mengumpulkan ikan-ikan kecil, kerang, dan kepiting di sekitar pantai dan kondisi air laut di perairan dangkal sangatlah jernih. Seorang Bapak menggambarkan tingkat kejernihan air pada saat sebelum dibangunnya tanggul sebagai berikut:

"...dulu kalau kita lemparkan batu ke dalam air itu, kita masih bisa melihat jelas di mana jatuhnya batu itu demikianlah jernihnya air sebelum dam (begitu warga menyebut tanggul) dibangun..."

Kondisi air di pantai saat ini sangatlah keruh dan berwarna kecoklatan serupa keruhnya air sungai di hilir bila terjadi hujan deras di wilayah hulu. Jangankan untuk melihat batu yang kita lemparkan ke dalam air, bahkan bila kita celupkan jari ke dalamnya saja kita tidak akan bisa melihat jari kita dari atas permukaan air.

Kondisi pantai pasca pembangunan tanggul laut
(Photo credit: Iin RZ)


Menurut warga, sejak pembangunan tanggul mereka tidak lagi bisa menemukan ikan kecil, kerang dan kepiting di laut dangkal di sekitar pantai. Selain mempengaruhi pendapatan tangkapan nelayan di sekitar pantai, tanggul yang dibangun juga tidak sedemikian rupa dirancang untuk kemudahan akses atau keluar-masuk perahu-perahu nelayan dari pantai ke laut dan sebaliknya. Warga menceritakan bahwa pernah ada perahu yang karam akibat kesulitan mengakses jalur keluar-masuk melalui tanggul tersebut.

Nelayan lokal mengalihfungsikan perahu dan mata pencahariannya
dari pencari ikan menjadi pengumpul batu
(Photo credit: Iin RZ)


Hal lain yang juga menyedihkan bagi saya adalah mengetahui bahwa hutan bakau yang baru saja dirintis kembali di sekitar pantai hasil kerja gotong-royong masyarakat dengan Dinas Perikanan dan Angkatan Laut juga ikut terancam kelanjutan hidupnya akibat tanggul tersebut. Menurut supervisor lapangan kami yang merupakan ahli biologi kelautan, habitat hutan bakau tersebut terganggu karena tanaman yang sedianya bertahan hidup dengan kondisi air yang secara berkala pasang & surut terpaksa harus menanggung situasi terendam air sepanjang waktu akibat pembangunan tanggul.

Hutan bakau yang terancam rusak akibat habitatnya diganggu
(Photo credit: Iin RZ)


Lalu di mana semua kekacauan ini bermula? Warga menyebutkan bahwa mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan tanggul tersebut. Tidak ada proses konsultasi di tingkat kampung untuk menjaring masukan sebelum terlaksananya proyek pembangunan tanggul tersebut. Ketika saya menanyakan kira-kira untuk tujuan apa tanggul tersebut dibangun, seorang Ibu dengan tegas menjawab:

"...dam itu dibangun supaya air pasang tidak masuk ke kampung. Tetapi kenyataannya setelah dam itu terbangun pun air masih bisa meluap ke kampung melalui alue (kanal) yang melintasi kampung... mungkin akan lebih baik bagi kami kalau batu-batu besar yang digunakan untuk membangun dam tersebut dibagikan ke warga untuk dijual lagi..."


Kanal (alue) yang melintasi perkampungan
(Photo credit: Iin RZ)


Ya, pasca tsunami 2004, banyak warga Kampung Krueng Raya yang beralih mata pencaharian sebagai pemecah dan pedagang batu pecahan yang dijual untuk kebutuhan konstruksi. Mereka menggali gunung batu yang merupakan dataran Pulau Klah yang berada di seberang perkampungan sebagai sumber batu pecahan. Untuk mencapai Pulau Klah dan mengangkut batu ke kampung, warga menggunakan sampan-sampan kecil. Menurut warga hal ini terpaksa dilakukan karena pasca tsunami banyak warga yang kehilangan perahu-perahu yang berukuran lebih besar yang dulunya bisa digunakan untuk mencari ikan ke perairan yang berada lebih jauh dari kampung. Dengan sampan kecil kemampuan mereka mencari ikan laut menjadi berkurang sementara tuntutan pasar akan kesediaan batu untuk konstruksi pada proyek-proyek rehabilitasi & rekonstruksi melonjak naik sehingga warga pun akhirnya banting stir dari ketergantungan penuh pada tangkapan laut kini menjadi 50-50 antara menangkap ikan dengan menggali batu.

Seorang warga sedang menurunkan batu yang dikumpulkan dari Pulau Klah
(Photo credit: Iin RZ)



Wajah kampung nelayan yang berangsur-angsur menjadi
kampung penghasil batu pecahan
(Photo credit: Iin RZ)


Melihat situasi tersebut, saya pikir warga kampung ini lebih membutuhkan pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan tanggul. Bayangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh tidak sensitif-nya pemerintah daerah terhadap kebutuhan pembangunan ekonomi tersebut, bukan hanya berwujud pada proyek tanggul salah kaprah yang merusak ekosistem pantai tapi juga ada resiko kerusakan lingkungan yang parah yang akan menimpa Pulau Klah akibat eksploitasi terus-menerus oleh masyarakat sekitar sebagai manifestasi tuntutan ekonomi. Herannya, begitu banyak lembaga asing baik donor maupun organisasi nirlaba yang giat menyuarakan pembangunan berbasis masyarakat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, namun masih saja aparat berwenang menganggap remeh hal tersebut seolah setiap pembangunan fisik tidak mutlak mempertimbangkan lanskap sosial dan lanskap lingkungan alam. Dugaan saya, proyek ini mungkin contoh lain dari proyek-proyek kejar tayang sebagaimana yang lazim dilakukan oleh pemerintah daerah menjelang akhir tahun anggaran.

Sayangnya waktu kunjungan lapangan yang kami miliki sangat singkat, sehingga kami tidak punya cukup waktu untuk berkunjung dan mendiskusikan hal ini dengan aparat terkait. Saya sangat ingin kembali ke Kampung Krueng Raya suatu waktu nanti, masih banyak pelajaran lapangan yang saya butuhkan di daerah ini.

Wednesday 6 May 2009

...and we're lying in the fields of gold -[Sting]

Biarkan kali ini malam kita miliki sendiri.

Rembulan yang sempurna
membentang hamparan emas di kakinya.
Di situ kita mengabadikan kesunyian,
menakar cinta dalam diam.

Kemarikan seluruh gelisahmu.
Jangan ada sisa di dada.
Aku tau, kau letih berulangkali arungi matari sendiri.

Telah kutuntaskan pemahamanku akan musim dan gelombang.
Kini izinkan aku belajar memahami-mu.

Biarkan kali ini malam kita miliki sendiri.
(Aku tak ingin berbagi cerita pada angin)

Rembulan yang sempurna membiaskan emasnya di dahi-mu
kemudian mengalirkan kesejukan di nafas kita,
di rentang waktu,
lalu bermuara
ke hatiku.

Medan . 29 Mei 1999

...in this life I was loved by you (both)

Bukan penyesalan.
Sesal telah kupompa habis
dari nadi.

Hanya gelisah,
ketika cinta yang kugenggam di dua tangan
mengalir tumpah.
Membasahi kelopak mata,
lalu kuyupkan jiwa.

Medan . 17 April 1999 [00:02WIB]

Monday 20 April 2009

ARCHICULTURE

Archiculture is a documentary movie about the dynamic world of Architecture school. I think workload and learning process is similar in every Architecture school around the world, regardless nations or races.

By clicking on the title above you will follow the Archiculture official website, there you will find series of movies that might lead you to experience the way students of Architecture learning-institutions shape their ideas and concepts.

Enjoy & have fun!

Saturday 18 April 2009

SHAKIRA: Hips don't lie

Please enjoy one of my favorite songs ever!
By clicking on the title above you'll be directed to youtube.
I'm sorry if it doesn't work 'coz sometimes some videos are not available in certain countries.

I'm learning to make those Shakira's moves!!
Come on folks, move with me...
:)

Thursday 16 April 2009

iwannalearnspanish

Click on the title above if you wanna learn Spanish as much as I do.
Have fun!

E Q U I L I B R I U M

What do you have in mind when you hear:
"e q u i l i b r i u m"?
To me the word sounds like music, it has its own tone and harmony.
It sings.

In general meaning, equilibrium means a sense of balance. It is the state in which something or someone reach its/her balance point. That is how I expect this blog, a space of my thoughts, would work to me. It would somehow assist me to reach that state of balance of my everyday life. It would detoxify me from anger, hurt, or excitation. It would turn me back into null, to steadiness.

Welcome to my equilibrium, a space in where sometimes I might express my own battle to reach a peace of mind.


Indonesian:
Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata:
"e q u i l i b r i u m"?
Di telinga saya kata ini terdengar seperti musik. Dia memiliki nada dan iramanya sendiri.
Kata ini bernyanyi.

Secara umum, equilibrium berarti keseimbangan. Equilibrium juga bermakna sebuah situasi di mana sesuatu atau seseorang mencapai titik keseimbangannya. Inilah harapan saya pada blog ini, sebuah ruang di mana saya bisa menumpahkan rasa & pikiran, dan membantu menyeimbangkan hidup keseharian saya. Menetralkan saya dari rasa marah, terluka, dan kegembiraan yang meluap-luap, mengembalikan saya ke titik nol - keseimbangan.

Selamat datang di Equilibrium!
Di sini Anda mungkin akan menemukan ekspresi konflik pribadi saya dalam mencari cara berdamai dengan kenyataan dan berjuang mencapai keseimbangan.

Salam!

Stars are not such broken pieces of a sparkling thingy

Watching the nite sky through my double-glazed window, I read the Plough and trying to head toward a Polaris. It’s not a constellation class, Everyone. It’s me proceeding to welcome summer time when the Orion will go to rest for a while.

Sheffield, March 16, 2009

Magnolia Pertamaku | My First Magnolia


(Photo credit: Iin RZ)


(Photo credit: Iin RZ)

Lama sebelum berdiam di negeri Ratu Elizabeth ini, aku sering mendengar nama Magnolia, biasanya sering ditemukan di produk-produk kosmetik atau wewangian. Tanpa pernah melihat wujud aslinya, aku berkesimpulan kembang yang satu ini pastilah serupa dengan Lily atau Calla-Lily. Tapi intuisiku menolak mendekatkan tebakanku dengan Lavender, entah kenapa...

April ini Britania Raya mulai menyambut musim semi, bunga-bunga di taman-taman kota dan di halaman rumah penduduk pun mulai bermekaran. Bahkan sejak Maret lalu pasar rakyat di pusat kota mulai menjual aneka tanaman dalam pot yang sudah komplit dengan bunganya. Sekitar 12 hari yang lalu tepatnya 4 April 2009 aku berjalan-jalan dengan dua orang teman, yang juga berasal dari Indonesia, di seputaran Sheffield University. Dalam perjalanan aku melihat sebuah pohon berukuran lumayan besar berdiameter kanopi sekitar 2 meter-an dengan penampilan yang sangat memikat. Pohon ini tidak berdaun, seluruh cabang dan rantingnya dipenuhi bunga berwarna merah muda pucat yang sudah mekar sempurna! Dari jauh aku berpikir pastilah itu sejenis tanaman Nusa Indah yang sering aku lihat di kampung halaman, namun setelah didekati terlihat jelas bahwa tanaman ini berbeda dari Nusa Indah. Seluruh bunganya mengembang dan terbuka ke arah atas dengan tekstur kelopak serupa Lily (atau serupa Melur di Indonesia). Sayangnya tidak satupun dari kedua temanku mengetahui apa nama tanaman nan cantik itu, tapi aku masih beruntung salah seorang temanku membawa kamera saku sehingga aku sempat memotret si pohon penuh bunga itu.

Minggu pertama hingga minggu ketiga April adalah liburan paskah bagi kami semua (kami adalah orang-orang yang masih bersemangat menuntut ilmu walau kadang-kadang otak terasa sulit untuk diajak bekerjasama). Aku dan seorang teman sepakat untuk menghabiskan minggu pertama liburan dengan berjalan-jalan ke dua kota utama di Scotland yaitu Glasgow dan Edinburgh. Kunjungan kami ke Glasgow diawali dengan menikmati musim semi ala rumah kaca di Botanical Garden. Lumayan, temperatur di dalam ruang Botanical Garden Glasgow bisa membuat kami sedikit lebih santai setelah sebelumnya menggigil berjalan di udara luar yang beku (sungguh musim semi yang aneh!).

Di Botanical Garden inilah aku menemukan jawaban dari rasa penasaranku tentang tumbuhan cantik yang aku lihat beberapa hari sebelumnya di Sheffield, pohon besar penuh bunga merah muda itu bernama: Magnolia!

Menakjubkan, bahwa butuh waktu 4 hari dengan jarak tempuh sekitar 2-3 jam perjalanan menggunakan kereta api untuk menemukan nama Magnolia :)
Tapi aku merasa sangat puas! Satu pengetahuan baru yang mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu penting tapi bagiku terasa membahagiakan (dan, hei, tebakanku bahwa Magnolia tidak berdekatan rupa dengan Lavender ternyata benar!)

Musim semi ini bukan hanya musim semi pertama seumur hidupku, di sini di Britania Raya ini, aku juga telah menemukan Magnolia Pertamaku.

Sheffield, 16 April 2009.

*catatan kaki: terima kasih buat Diana atas pinjaman kamera sakunya :)

Wednesday 15 April 2009

Beberapa Link yang Ikut Bermigrasi dari Multiply | Some Links from My Old Blog in Multiply

Link menuju galeri foto seorang teman foto-jurnalis, Tarmizy Harva: http://www.tarmizyharva.com/

Link to a blog of Kadek Krisna Adidharma. He's a Bali Based environmental engineer, cultural liaison, interpreter, and columnist for The Jakarta Post. I met him in a reading event in Surabaya, Indonesia, on August 2007.
http://www.adidharma.net/

Link to a blog of Sean Whelan. An Australian writer and art performer. I met him in a reading event in Surabaya, Indonesia, on August 2007. I like his works, hope you can enjoy them too.
http://www.loveisthenewhate.blogspot.com/

Link menuju galeri foto salah seorang penghuni rumah kami di Aceh, Fakhrurrazi
:)
Well, I have to say if his pieces are incredible!
Please enjoy your visit to:
http://www.ojiphotography.com/

To open those links above just simply copy & paste each of them into your browser.
Thanks.

Something Worth to Read from Tempo Magazine

"Why We Are Different from Malaysia" adalah sebuah tulisan dalam rubrik Opini Majalah Tempo English Edition yang terbit 14 Januari 2008.

Tulisan ini menunjukkan pembelaan yang sangat kuat terhadap harga diri dan integritas Bangsa Indonesia yang tengah dijadikan bulan-bulanan oleh Malaysia. Opini ini berakar dari pernyataan seorang pejabat Malaysia yang menyinggung teman-teman pekerja media di Indonesia. Saya pribadi merasa bahwa membaca tulisan (yang cukup tajam) ini seolah membakar semangat patriotisme yang semakin timbul tenggelam terbawa arus modernitas yang merujuk makin ke Barat.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat Saya terhadap teman-teman berkebangsaan Malaysia serta dengan segenap penghargaan kepada Majalah Tempo sebagai sumber tulisan ini, berikut Saya sadur kembali opini tersebut untuk di-hikmati lebih banyak manusia Indonesia di manapun berada:

Why We are Different from Malaysia
Tempo English Edition, January 14, 2008, Opinion, page 10.

There is difference in the historical experience between this republic [Indonesia] and our neighboring kingdom [Malaysia] in the way independence was achieved.

Relations between Indonesia and Malaysia have not been at such low ebb since the establishment of ASEAN. And this unhappy state of affairs has not been helped by senior officials and politicians in Kuala Lumpur.

Last week in Bali, Datuk Seri Zainuddin, Malaysia’s Information Minister said that the media in Indonesia had been “overzealous” with the freedom it was “granted” since the fall of the New Order. He condemned the Indonesian media because it had expressed opinions about the Malaysian opposition party leader Anwar Ibrahim.

Datuk Seri Zainuddin’s criticism will have no serious impact on the life of the Indonesian media; journalists here have already dismissed his opinion, mainly because it is laughable. After all, the Datuk has no authority at all in this republic. But we, the people of Indonesia, can use it to examine some fundamental differences between the two nations.

Malaysia’s economy is more developed than that of Indonesia, and there is little corruption there. There is no terrorism, -although two terrorists in Indonesia came from Malaysia, which allowed an organization like Jamaah Islamiyah to thrive until its leaders returned to Indonesia. Meanwhile, Malaysia is safe, prosperous, and orderly.

But there is history behind these differences. Malaysia never experienced an independence revolution like Indonesia, with arms and violence. This revolution was like a massive earthquake: it shocks have lasted a long time.

Because of these Indonesian revolutionary shocks, for example, the government once applied a system of “guided economy” which was “anti-West”, and which eventually placed bureaucrats and generals in control of the production and distribution of goods and services. The result was the economic chaos of 1958-1966 and a huge lost of opportunity.

Not only that, from the “guided economy” grew the arbitrary system of permits in the business world which continues to this day, and which gave corruption the chance to flourish.

But these revolutionary shocks were not permanently bad. They taught the people that there is a high price for freedom: we made sacrifices to achieve it. And it was these revolutionary shocks that in 1998 motivated young Indonesians to be prepared to die for the aim of the reform movement, -one of which was to have an unshackled press in Indonesia.

By regarding Indonesian press freedom as something that was “granted”. Datuk Seri Zainuddin showed how distant he is from Indonesian experience. Fundamental rights are not gift. Fundamental rights in this republic were attained with blood, tears, and lives, -including that of Munir.

Included among these rights is the right to opposing political opinions, and to voice them on the streets.

To this day, Malaysia has not guaranteed these rights. We should not become angry with them. That nation has never known the effort to win rights by radical self-sacrifice, by being jailed, exiled, or killed. This is why it is so easy for the Kingdom of Malaysia to gag the press by requiring permits to be renewed every year; by detaining political opponents for unlimited periods of time without trial; and even banning non-Muslims from using the word “Allah” for God, as if the Kingdom of Malaysia can appoint someone as the holder of a monopoly on words.

But, while understanding this, there is nothing wrong with our being proud of the gaps in our poverty: The Republic of Indonesia is a living democracy with grassroots support, not a beautiful aquarium inhabited by mute fish.#

Semoga bermanfaat!

Salam.

Akan & Selalu 1

Dalam riak rindu yang asing:
Ku-eja langit malam
sembari memesan mimpi pada bulan,
tentang hasrat liar
yang tertanam di ombak-ombak
(pada laut, aku pertama kali cinta,
kemudian terluka)
Hanya laut dan selalu laut
yang akan kembali mengawinkan kita
dengan buih dan deburnya yang gelisah
dengan hangatnya yang asin dan basah.
Lalu Angin memelukku,
dan kita menari telanjang kaki.
Medan - 11.01.1999

Akan & Selalu 2

Aku terjaga
ketika hari yang begitu muda menggeliat di kaki langit.
Lalu
kicau burung dan gemercik air keran dan derum dunia di luar jendela,
menyempurnakannya.
Namun nada yang sama masih menggantung di ujung diamku:
harpa neptune, tarian ikan-ikan, dan gemerisik dedaunan;
(Aku belum sempat berterimakasih akan mimpi yang disuguhkan bulan)
Dan nada yang sama memenuhi ruang rasa.
Dalam Bahasa Langit:
Bulan dan Mimpi dan Laut
telah mengembalikan
Cinta
yang pernah kutitipkan dulu sekali.
Medan - 11.01.1999

Euphoria


(karena cinta kita adalah air)


aku melihat
kau dan aku bergelung di dalamnya, berputar, dan mengalir,
tak ingin menepi.

sesekali kita melompat terlalu tinggi
lalu udara melengkapi warna
bagi petualangan sarat jejak,
yang mengapung di waktu-waktu.

pernah aku terjerembab di lumut-lumut dan kau memberiku energi untuk melepaskan kepedihan.

sekali waktu kau terbelit di akar-akar dan aku pun membebaskanmu.

perjalanan yang indah bukan?
aku belum ingin terjaga. kau pun belum memaksa menepi.

mari mengalir lagi, cinta ini tak berujung.
kita boleh menguap ke udara dan selalu kembali.
atau kau memilih larut menjelma kristal sempurna?

karena kita,
tak pernah luntur
dalam kehilangan dan pengkhianatan.

Surabaya - 06.08.2007

Pazel

Aku telah bergerak ke hujan-hujan
mengalir di sungai-sungai
dan belajar memahami pepohonan:
Kau masih di sana,
bercengkerama dengan matahari yang sama
yang menuntunku menemukanmu.
Keping-keping cerita sudah terlalu lama terbiarkan, berantakan.
(Hingga kupu-kupu pun tak terbang lagi)
Genapi Aku.
Ilustrasi ini butuh diutuhkan.

The Casino Club - 05.08.2007

Soliloquy

Cinta,

aku selalu punya sejuta kata-kata untuk dibagi denganmu

tapi aku memilih menikmatimu dalam diam.

aku menikmati menghirupmu, menjadikanmu nafasku.

aku bernafaskan-mu dan kau merasuki-ku

tanpa mantra-mantra.

dunia kau-aku begitu sempurna,

tanpa hiruk-pikuk kata-kata.


Surabaya - 06.08.2007

Senja: Sebuah Komposisi

Ingin kuulang kembali:

senja di pantai


ketika matahari merah saga tergelincir di horison.


Kau-Aku bercakap-cakap tentang Tuhan,

yang lama tak diperbincangkan orang.


Momen itu sublim di ruang dadaku.


Bahkan lumpur dari rawa,

di mana kita sempat memotret bangau,

masih basah di sepatuku.


Kala itu cemara laut menjadi rhythm

dan gerimis melarutkan waktu di selisih Kau-Aku.


”Sayangnya...,” katamu

”...ruang dan waktu hanya milik Tuhan yang kita kenal itu.”


Oh, betapa ingin kukirimkan gelombang magnet ke pangkuanmu detik ini juga,

(ribuan detik setelah senja di pantai itu)

untuk membagi ilustrasi yang berloncatan riuh menggelisahkan.


Tak adil bagiku menikmati komposisi sesempurna ini tanpa menyertakanmu.


Namun ruang dan waktu milik Tuhan yang kita kenal itu, tak bisa dipesan untuk mengekalkan kenangan.


Bangau-bangau kini beterbangan dari hatiku,

pulang mengendarai angin entah ke mana.


Adakah mereka singgah di pintumu menarikan ”au revoir”?


Btj – 29.12.2007

Potret Sepi

Pernah aku memotret sepi dalam rupa badai yang bertubi-tubi menghempas jendela.

Ketika itu, keyakinan memiuh.

Harapan yang beriak-riak tak lagi mengalir sampai ke hati.

Btj – 29.12.2007

Butterfly Dance

Pernah aku berjalan telanjang menyeberangi peradaban itu
untuk tiba di pelukmu yang pekat, yang siap melumuri pori-poriku
dengan nafas dan kehidupan.

Dalam romantisme denyut jantung, tiba-tiba kau menjelma kekosongan
yang menggigilkan.
Pelukanmu menjadi ratusan kupu-kupu yang menari dalam gerakan berpilin-pilin
yang memualkan dan membekukanku pada satu titik
seolah-olah seluruh gravitasi berada tepat di bawah telapak kakiku.

Tak pernah kutemui ilustrasi seperti ini sebelumnya.
Ratusan pasang sayap putih berkilauan di bawah cahaya bulan tujuh per delapan,
melakonkan ritual patah hati dan membungkusku ke dalam jejalin kepompong raksasa.
Menyedot seluruh makna hidup, menjadikanku pula kehampaan.

Aku terperangkap pada-mu.
Kepompong raksasa yang melayang-layang di bawah cahaya bulan tujuh per delapan.
Menjadi anomali di langit malam, yang tengah disesaki layang-layang
yang berdandan dan saling berebutan ruang dengan harga diri dan distorsi peradaban.

Aku tau, kau begitu bergairah menikmati warna-warninya.

Ku dengar deru nafasmu di kejauhan, seperti mudahnya kukenali aroma peluhmu
yang bercampur dengan amis dan asin pantai.

Sendiri, aku tersesat di langit malam.
Hilang di samudera bintang-bintang.

Udara yang mengilukan belulang berulang kali membisikkan pesan terakhir-mu:

”it’s winter now in Australia!”

Kuta – 09.09.2007

Gerhana

”Tak seorangpun ingin menjemput gerhana,” katamu.

Memburai kisah yang tengah kurajut diam-diam

ketika waktu yang sesekali luang kita tuang di beranda.

Kau lukis sepotong bulan yang sempurna di matamu,

tanpa carut-marut luka dan sejarah.

Sepi yang merambat naik di kusen jendela malam itu

meminjamkan bulan-mu untukku bercermin,

padanya Aku selesaikan sebuah monolog:

”Aku telah berdamai dengan sejarah.

Sepasang sayap telah kupesan pula dari Bintang Utara.

Pernahkah Aku mengenalkan Musim pada-mu,

sahabatku yang lincah menabuh perubahan itu?

Sesaat nanti, Dia akan menjemputku

untuk membentang lanskap di sepanjang benua,

menabur mimpi ke setiap anak sungai.

Betapa akan kurindu aroma padi dan daun kuda-kuda

dari seberang halaman.

Dan ketika Kau merindukanku,

mungkin sepotong bulan yang Kau simpan di saku-mu

telah menjelma gerhana.”


Btj - 05.Jan.2008

Terlahir Merdeka

Ada yang sangat aku sukai dari namaku, yaitu bahwa nama ini tidak memberikan embel-embel citra akan sebuah kelompok etnis atau ras. Tidak juga dengan sewenang-wenang mengklaim bahwa aku adalah "milik" seseorang atau sekelompok orang, atau dengan tidak berperikemanusiaan meletakkanku pada kelas tertentu di dalam masyarakat.

Aku, seperti manusia lainnya di dunia, terlahir merdeka. Mungkin kedua orang tua dan keluarga besarku sangat memaklumi hal ini sehingga tidak satu pun dari mereka melakukan klaim atas diriku dengan membubuhi nama mereka di belakang namaku, bahkan walaupun mereka memiliki kesempatan itu pada saat aku belum mampu berpikir untuk memilih.

Walaupun pada usia belasan aku pernah berpikir betapa malangnya aku karena tidak memiliki nama keren seperti tokoh kartun atau seperti para model di majalah remaja pada masa itu, namun akhirnya aku paham bahwa nama seseorang biasanya mengandung muatan romantisme milik ke dua orang tuanya atau merupakan manifestasi doa dan harapan besar. Kini aku cukup berbahagia dengan namaku.

Sesi 2 - kutipan diskusi dari blog lama di multiply:
Tulisan di atas adalah perspektifku tentang NAMA. Buah pikir, rasa dan gagas betapa merdekanya aku memiliki nama yang merupakan identitas pribadiku sejak lahir. Nama ini tidak meletakkan aku sebagai representasi sebuah kelompok manusia. Namaku menjadikanku aku.

Ide berbagi cerita tentang nama ini berawal dari obrolan dengan beberapa teman berkebangsaan Eropa dan China yang merasa takjub bahwa dari 3 penggal kata yang membentuk namaku, seluruhnya murni milikku sendiri. Seorang teman bernama belakang "Blunt" (dalam kamus Bahasa Inggris Oxford artinya: tumpul) menyampaikan kekesalannya bahwa nama belakangnya itu seringkali menjadikan dia sasaran celaan teman-temannya semasa kecil (padahal, percayalah: he's very sharp and thoughtful).*

Seorang pembaca "Terlahir Merdeka" di multiply menegurku, beliau mengingatkan bahwa sangat tidak mungkin bila aku menganggap diriku merdeka hanya karena nama, karena manusia hidup di dunia harus mematuhi aturan dunia. Aku setuju dengan pendapat tersebut. Aku tahu bahwa hidup di dunia manusia yang beradab, kita akan (dihadapkan pada pilihan) menjalankan serangkaian peraturan-manusia. Contohnya, aku tidak keberatan ketika database kampus mengenaliku hanya sebagai "trp08iz", tentu saja karena aku paham bahwa aku telah menjadi bagian dari populasi kampusku dan harus menghargai sistem dan peraturan yang berlaku agar studiku berjalan lancar dan cita-cita tidak terhambat (hahaha..).

Kritik oleh seorang pembaca di multiply juga menyinggung-nyinggung tentang hukum rimba. Jujur saja, sebenarnya aku bingung, kenapa dari bahasan tentang nama yang merdeka, lalu ada yang menghubung-hubungkan dengan rimba ya?? Nah, kalau ditanya tentang hukum rimba aku percaya bahwa kalau pun kita hidup di hutan belantara tetap ada hukum dan tradisi yang harus dihormati dan dijalankan. Misalnya, hukum rimba yang paling terkenal adalah "natural selection" atau "survival of the fittest" yaitu hukum yang menegaskan bahwa siapa yang kuat dialah yang bertahan dan selamat. Namun, sayangnya, hukum rimba belantara tersebut tidak mementingkan nama melainkan berpijak pada kekuatan fisik dan strategi bertahan ala rimba belantara sehingga tanpa mengurangi rasa hormatku pada sang kritikus, aku terpaksa berkesimpulan bahwa beliau telah salah kaprah.

Dalam tulisan awal tentang nama, aku sama sekali tidak berbicara tentang Tuhan. Tapi menarik juga karena sebuah kritik dari pembaca tulisanku, aku lalu menyadari bahwa Tuhan yang aku sembah (dalam keyakinan kami) tidak mengalokasikan surga dan neraka berdasarkan nama manusia melainkan berdasarkan: perlakuan kami terhadap makhluk hidup lain di dunia, perlakuan kami terhadap dunia itu sendiri, dan cara kami mengungkapkan syukur dan beribadah pada-Nya. Dalam agama yang aku yakini, semua manusia (tanpa pandang nama) berhak berdiri di baris depan untuk menyembah Tuhan kami (atau, meminjam istilah "pasar": siapa cepat dia dapat! ;p).

Aku senang berbagi perspektif, bukan berarti bahagia menjejali pembaca tulisanku dengan obrolan 'koran bungkus kacang'. Tulisan menjadi tidak hidup dan tidak memiliki karakter tanpa apresiasi orang lain. Aku berterima kasih pada semua orang yang mau meluangkan waktu dan mengomentari tulisanku. Apapun isi kritiknya. Aku yakin semua manusia berhak mengembangkan perspektifnya sendiri tentang berbagai hal dan aku menghargainya. Berkaitan dengan nama, ketika ada orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan nama belakang (warisan nenek moyang) dengan alasan "I don't belong to that name", bagiku itu sah-sah saja selama si pengambil keputusan sadar akan resiko dan tanggung jawab yang akan dipikulnya.

Di luar ekspektasiku ketika menuliskan gagasan tentang nama yang merdeka, diskusi panjang tentang nama dan kemerdekaan lahir manusia ternyata mengarahkan aku, pembaca, dan pemberi kritik pada hidup dan peraturan-peraturan yang membungkusnya. Menurutku pribadi, hidup akan selalu tentang menentukan pilihan. Berikut sebuah strategi yang sering aku praktekkan berkaitan dengan menentukan pilihan: ketika hati terasa sempit dan pikiran tidak lagi dapat menemukan pilihan-pilihan, maka membacalah!
IQRA! demikian Tuhan kami berpesan, bacalah segala sesuatu di alam ini, baik yang tersurat maupun tersirat. Membaca bukan berarti literal membaca buku atau kitab saja, tapi juga berdoa, lalu membaca petunjuk Tuhan yang tersirat dalam laku duniawi.

Sekali lagi terimakasih atas kunjungan & apresiasinya. Diskusi tentang nama belum aku anggap selesai, tulisan ini masih terbuka untuk ditanggapi dan diskusi dapat dilanjutkan kapan saja!
:)

Salam hangat!
18 Oktober 2008

*Beberapa bulan setelah tulisan ini selesai, aku menemukan berita menarik di internet tentang mulai punahnya beberapa nama belakang (surname) tradisional British dengan alasan bahwa nama-nama tersebut sudah terlalu kuno dan beberapa malah mengandung makna konotatif (seperti kisahku tentang "Blunt") yang membuat si pemilik enggan menggunakannya. Berita lengkapnya bisa dilihat di:
http://www.metro.co.uk/weird/article.html?Britain_running_out_of_Cocks&in_article_id=598012&in_page_id=2
Silakan copy & paste link tersebut ke browser Anda. Selamat membaca!


Sesi 3 - Perbincanganku dengan Ed Ferrari, Kamis, 23 April 2009
Karena butuh untuk mencantumkan nama Ed di dalam formulir aplikasi Research Ethics Approval, aku menanyakan nama asli Ed apakah hanya "Ed" saja atau seharusnya tertulis sebagai "Edward". Sambil tertawa Ed berkata bahwa dia lebih suka bila namanya tertulis sebagai "Ed" saja, walaupun nama resminya di paspor adalah "Edward". Kami lalu membahas tentang pergeseran penggunaan nama lengkap di Great Britain, dia menunjukkan contoh seorang Professor rekan riset-nya memilih mencantumkan inisial 3 nama depan + 1 nama belakang dengan sisipan dalam kurung nama panggilannya, sehingga kira-kira jadinya begini: AXY (Tony) Sumthin, tertulis di makalah ilmiah yang dipublikasikan secara nasional di UK.
"Tony" adalah nama pendek si Professor dari A = Anthony.
"Formality has become history," ujarnya seraya tersenyum lebar.

Aku lalu menjelaskan pada Ed, bahwa di negaraku kami lazim menggunakan nama lengkap tanpa menyingkat nama tengah, bahkan sebagian besar orang tidak memiliki nama keluarga atau nama belakang yang baku (surname). Walaupun di beberapa daerah dan beberapa suku di Indonesia penggunaan nama belakang adalah wajib secara adat dan tradisi. Dia kelihatan sangat terkejut,
"I never know that! How do you do that??"

Aku maklum dengan keterkejutan Ed, di negaranya semua daftar dan sistem disusun secara runut menggunakan alfabet dari nama-nama belakang. Tentu saja dia bingung membayangkan apa yang terjadi bila sebuah negara tidak mewajibkan warganya menggunakan nama belakang (surname).
Dengan senyum bangga aku menambahkan bahwa nama belakangku adalah milikku sendiri bukan nama belakang milik keluarga atau sejenisnya,
"I don't belong to any clan or anything. I'm a free entity"
Masih dengan nada takjub Ed bergumam,
"Whao, isn't it good to be free?"

Percakapan 2 jam yang cair itu pun berakhir di situ, karena aku harus buru-buru kembali ke flat untuk menyelesaikan beberapa essay yang tertunda.

Di luar, matahari musim semi seolah-olah ingin memanjakan setiap orang yang lelah berkurung dan menjerang tubuhnya dengan pemanas ruangan selama musim dingin lalu. Forum Cafe mulai menggelar kursi-kursi lipatnya yang baru di pavement sudut Timur-Laut taman Devonshire untuk penikmat sajian di luar ruang. Di lapangan berumput di bagian Selatan, orang-orang berbaringan untuk mandi sinar matahari di antara pohon-pohon cherry blossom putih.

Hari yang menyenangkan!