Pernah aku berjalan telanjang menyeberangi peradaban itu
untuk tiba di pelukmu yang pekat, yang siap melumuri pori-poriku
dengan nafas dan kehidupan.
Dalam romantisme denyut jantung, tiba-tiba kau menjelma kekosongan
yang menggigilkan.
Pelukanmu menjadi ratusan kupu-kupu yang menari dalam gerakan berpilin-pilin
yang memualkan dan membekukanku pada satu titik
seolah-olah seluruh gravitasi berada tepat di bawah telapak kakiku.
Tak pernah kutemui ilustrasi seperti ini sebelumnya.
Ratusan pasang sayap putih berkilauan di bawah cahaya bulan tujuh per delapan,
melakonkan ritual patah hati dan membungkusku ke dalam jejalin kepompong raksasa.
Menyedot seluruh makna hidup, menjadikanku pula kehampaan.
Aku terperangkap pada-mu.
Kepompong raksasa yang melayang-layang di bawah cahaya bulan tujuh per delapan.
Menjadi anomali di langit malam, yang tengah disesaki layang-layang
yang berdandan dan saling berebutan ruang dengan harga diri dan distorsi peradaban.
Aku tau, kau begitu bergairah menikmati warna-warninya.
Ku dengar deru nafasmu di kejauhan, seperti mudahnya kukenali aroma peluhmu
yang bercampur dengan amis dan asin pantai.
Sendiri, aku tersesat di langit malam.
Hilang di samudera bintang-bintang.
Udara yang mengilukan belulang berulang kali membisikkan pesan terakhir-mu:
”it’s winter now in Australia!”
No comments:
Post a Comment