Thursday 19 November 2009

Cerita Yahwa

"Cerita Yahwa" adalah petikan obrolan saya, dan seorang teman (bernama: Isma) anggota tim Pelatihan Penelitian Perubahan Iklim dan Kemiskinan, dengan seorang tokoh masyarakat di Kampung Iboih, Sabang.

Obrolan lapangan ini awalnya direkam dalam bentuk audio, yang lalu saya transkrip dan transformasikan ke dalam tulisan sederhana. Diskusi kami dengan Yahwa dilakukan pada garis waktu yang berdekatan dengan tulisan saya yang bertajuk "Pembangunan untuk siapa?"yang bisa diakses di:http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2009/11/pembangunan-acakadut.html


Iboih – Teupin Layeu | Kamis, 5 November 2009 | Pukul 16-an (sore) hingga selesai


Profil Tokoh dan Sejarah Singkat Kampung

Ini adalah rekaman wawancara dengan Bapak Ishak Idris (oleh masyarakat setempat beliau akrab dikenal sebagai: Yahwa), mantan Panglima Laot Iboih, berusia 73 tahun. Yahwa pernah menjabat sebagai Panglima Laot di wilayah Iboih selama lebih kurang 35 tahun. Beliau kemudian secara bersamaan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Panglima Laot, kepala lingkungan dan tuha peut karena merasa sudah tua, cepat letih dan tidak lagi mampu menangani terlalu banyak masalah komunal dalam waktu bersamaan. Walaupun mengaku buta aksara namun karisma Yahwa membuat pemerintah lokal mengangkatnya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang saat ini telah memasuki masa pensiun dan senioritas beliau di bidangnya membuatnya masih terlibat dalam upaya-upaya penegakan konservasi lingkungan laut di wilayah Iboih hingga saat ini.


Yahwa bersemangat menceritakan pengalaman hidupnya kepada kami
(Photo credit: Iin RZ)

Yahwa adalah satu dari sekitar 15 KK yang saat ini mendiami kampung Iboih di wilayah Teupin Layeu yang berbatasan langsung dengan laut dan pantai. 15 KK yang bermukim di Teupin Layeu adalah keluarga yang tersisa dan memilih untuk menetap di kawasan ini, tidak pindah bersama keluarga lain dalam program relokasi kampung yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemkot Sabang) pada sekitar tahun 1997.

Relokasi warga Teupin Layeu yang dilaksanakan sekitar tahun 1997 tersebut bertujuan untuk menghindarkan generasi muda kampung wisata laut itu dari ancaman degradasi sosio-kultural di lingkungan wisata yang cenderung rentan terhadap infiltrasi budaya asing (western). Sebagian besar warga bersedia dipindahkan ke kampung baru bernama Lamnibong yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Teupin Layeu. Di kampung baru tersebut warga diberikan sebidang tanah beserta rumah tinggal yang dibangun dengan material kayu/papan. Hanya beberapa KK saja yang tidak ikut pindah, yang menurut keterangan seorang warga lokal, mereka tidak pindah karena memiliki usaha yang sudah berkembang di Teupin Layeu.

Cerita Yahwa

Yahwa, yang sejak usia 16 tahun sudah menjadi nelayan pemancing ikan ini, menjelaskan bahwa perubahan musim angin Timur mulai dirasakan terjadi di wilayah ini sejak tahun ini (2009). Angin Timur biasanya terjadi pada bulan Desember hingga April sedangkan Angin Barat biasanya mulai berhembus pada bulan Mei hingga November. Namun tahun ini angin Timur sudah mulai berhembus sejak awal bulan November dan sulit diprediksikan akan berlangsung selama berapa lama. Perubahan angin berpengaruh pada perubahan arus laut dan suhu air laut yang kemudian berdampak pada pola migrasi ikan dan hasil tangkapan. Beliau menambahkan bahwa bila suhu air laut rendah (dingin) maka hasil tangkapan cenderung sedikit, sedangkan bila suhu air laut hangat nelayan cenderung bisa menangkap ikan dalam jumlah yang lebih besar. Yahwa memperkuat dugaan akan terjadinya perubahan dengan menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan (jenis Geureugak, ikan mata merah, bilis) tahun ini juga mengalami penurunan. Beliau menjelaskan bahwa akan sulit menemukan ikan-ikan besar (jenis tongkol, tuna) bila populasi ikan-ikan kecil mengalami penurunan di wilayah perairan tempat mereka biasa memancing ikan.

Dari wawancara kami dengan Yahwa, beliau menjelaskan bahwa masyarakat di wilayah Teupin Layeu ini tidak menggantungkan pendapatan keluarganya hanya dari hasil tangkapan ikan laut. Sebagian besar penduduk mengandalkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama yang biasanya aktifitasnya dilakukan pada siang hari, sedangkan aktifitas memancing ikan dilakukan pada malam hari. Penghasilan dari aktifitas pariwisata diperoleh melalui penyewaan perahu kepada pengunjung yang digunakan untuk menyeberang ke Pulau Rubiah, dengan tarif Rp150.000/trip (pulang-pergi), atau disewakan untuk para pemancing ikan dari luar daerah. Menurut Yahwa rata-rata warga Teupin Layeu memiliki boat/kapal kecil untuk melayani penyeberangan ke Pulau Rubiah. Boat-boat tersebut merupakan modifikasi dari boat fiber bantuan tsunami yang ditambahi 2 baris tempat duduk yang berhadapan dan diberi atap untuk kenyamanan penumpang boat. Boat-boat bantuan tsunami tersebut mereka beli dari nelayan lain yang mendapat program bantuan misalnya di Banda Aceh. Yahwa berpendapat bahwa boat-boat fiber tersebut lebih tahan lama dibandingkan boat kayu tradisional yang biasanya mereka buat sendiri. Boat kayu cenderung rentan terhadap serangan hama kayu yang membuat boat cepat bocor, sedangkan boat fiber lebih kuat dan tidak terancam hama. Kebocoran pada boat fiber hanya terjadi bila pengemudi boat tidak berhati-hati sehingga boat bersinggungan dengan karang.


Dermaga sandaran perahu penyeberangan ke Pulau Rubiah
(Photo credit: Iin RZ)

Yahwa menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir pengunjung/turis domestik (dari Jakarta, Medan, Banda Aceh, dsb.) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan turis manca negara. Selain dari penyewaan perahu, pemasukan warga lokal juga diperoleh melalui bisnis penginapan dan warung. Namun saat ini ada banyak pihak dari luar Teupin Layeu yang ikut meramaikan bisnis penginapan di kampung ini dengan fasilitas dan pelayanan yang menurut Yahwa jauh lebih baik dibandingkan dengan usaha yang dikelola oleh warga lokal. Kondisi ini ditambah dengan ketidakmampuan warga lokal untuk memperbaiki mutu pelayanannya (misalnya menjaga standar kebersihan dan keramahtamahan) membuat usaha milik warga lokal sulit bersaing.

“Dulu orang asing yang datang kesini mau menginap di penginapan punya orang kampung karena tidak ada pilihan. Sekarang mereka sudah punya pilihan karena banyak orang dari luar kampung yang membuka usaha penginapan di sini, tentu saja mereka memilih penginapan yang lebih bersih dan bagus.”


Turis asing tengah menikmati suasana pantai di Iboih
(Photo credit: Iin RZ)

Menurut Yahwa tidak pernah ada program atau penyuluhan lapangan dari Dinas Pariwisata untuk peningkatan kualitas pariwisata di wilayah tersebut. Yahwa menambahkan bahwa karakter masyarakat kampung Teupin Layeu ini “keras” dan tidak ramah karena mereka berpendidikan rendah. Rata-rata warga berpendidikan tertinggi tingkat SLTA.

Yahwa berpendapat hingga saat ini warga di permukiman tersebut belum terpengaruh atau belum terganggu oleh kenaikan muka air laut, pasang air laut, maupun banjir. Rumah-rumah di wilayah perkampungan yang terlihat tinggi atau ditinggikan sekitar 1 meter dari tanah adalah merupakan tanggapan terhadap kontur perkampungan yang berbukit atau menanjak dari pantai ke gunung. Peningkatan level lantai di bagian depan rumah/bangunan adalah upaya untuk menghindari genangan air di lantai akibat run-off dari wilayah gunung di belakang rumah bila terjadi hujan. Selain pantai dan laut, kampung Iboih juga dibentuk oleh kawasan hutan, perkebunan (kelapa dan cengkeh) dan tambak.

Sumber air bersih di Teupin Layeu adalah 1 buah sumur komunal yang dulunya diupayakan penggaliannya oleh seorang ulama (Yahwa menyebutnya dengan sebutan “aulia”) dari Banda Aceh. Di sekitar sumur tersebut dibangun 2 buah cubicle (peturasan) masing-masing untuk perempuan dan laki-laki. Volume air di sumur ini cenderung stabil, namun setiap rumah tangga harus mengangkat air untuk kebutuhan harian rumah tangganya dari sumur ini ke rumah masing-masing dengan menggunakan timba. Yahwa sendiri sekarang sudah memiliki sumur sendiri di rumahnya, biaya pembuatan sumur tersebut tergolong besar dan menghabiskan danasekitar Rp4.000.000 dengan kedalaman mencapai 19 buah munjeng atau cincin sumur. Tinggi permukaan air sumur rata-rata adalah sedalam 3 cincin sumur dari permukaan. Dengan kondisi sumur yang terbuka atau tidak diberi tutup dan atap, volume air sumur bisa mengalami penambahan bila terjadi hujan. Menurut Yahwa rasa air sumur cenderung tawar atau tidak sadah (istilah lokal “lagang”: menggambarkan rasa air tawar yang sedikit asin karena mengandung garam). Ketika terjadi tsunami 2004 air sumur komunal tersebut sempat tercemar oleh air laut yang dibawa gelombang tsunami ke daratan namun kemudian warga membersihkan sumur dengan cara manual, yaitu menguras seluruh air sumur dengan menggunakan timba hingga air sumur bersih kembali.

Persampahan telah ditangani oleh Pemkot Sabang, sekitar 2 kali dalam seminggu truk sampah masuk ke lokasi permukiman untuk mengumpulkan sampah warga. Tidak ada mekanisme khusus untuk pemilahan sampah organic dan non-organik serta tidak ada pihak yang khusus datang untuk mengumpulkan plastic bekas kemasan air mineral.

Sebagaimana telah disebutkan di bagian “Profil Tokoh dan Sejarah Singkat Kampung di atas, bahwa sebagian warga kampung ini telah menjalani proses relokasi pada sekitar tahun 1997, Yahwa menjelaskan alasan beliau dan keluarganya tidak ikut pindah ke Lamnibong adalah karena menurutnya kampong baru tersebut jauh dari pantai.

“Alat transportasi Saya ya kaki Saya ini. Sesekali pada pagi hari Saya berkunjung ke Lamnibong untuk ngopi, tapi setelah itu Saya kembali ke Teupin Layeu. Susah kalau tinggal di sana, kalau Saya ada janji jam 4 harus ke Teupin Layeu dengan berjalan kaki dari Lamnibong ke sini [Teupin Layeu] bisa-bisa jam 5 Saya baru sampai di sini.”

Selain masalah transportasi, menurut Yahwa pikiran beliau tidak bisa berkembang dan terbuka bila tinggal di Lamnibong. Yahwa menambahkan bahwa sebagian besar warga yang pindah ke kampong baru tersebut adalah warga yang sejak dulu memang tidak memiliki rumah (keluarga/pribadi) di Teupin Layeu, sedangkan keluarganya memiliki sertifikat tanah hak milik yang resmi dari agraria (Badan Pertanahan Negara).

Dalam diskusi kami yang mengaitkan antara dampak pemanasan global terhadap mencairnya es di kutub dan pengaruhnya terhadap kenaikan muka air laut, Yahwa berpendapat bahwa cairnya es di kutub hanya akan berpengaruh terhadap ketinggian air laut di sekitar wilayah Eropa. Pemahaman beliau adalah dengan perbedaan suhu antara wilayah Utara yang dingin dengan Aceh di bagian Selatan bumi yang panas, air yang berasal dari es yang mencair tersebut tidak akan sempat mencapai wilayah perairan Aceh karena terlanjur menguap (dalam perjalanan) akibat panas matahari.

Yahwa menunjukkan pemahaman yang memadai mengenai konsep konservasi terumbu karang dan kaitannya terhadap populasi ikan dan komoditi pariwisata andalan setempat yaitu taman laut. Menurut Yahwa sebagian besar warga Iboih berkomitmen tinggi untuk menjaga ekosistem laut dan menangkap ikan hanya dengan menggunakan pancing (benang pancing dan kait/mata pancing), karena mereka paham bahwa bila wilayah taman laut tersebut rusak maka tidak akan ada lagi pengunjung (di wilayah setempat lazim disebut sebagai “tamu”) yang datang ke lokasi itu yang tentunya akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat lokal. Yahwa juga sempat menyebutkan bahwa Pulau Rondo yang berada di sekitar perairan Pulau Wehmerupakan wilayah transit tetap berbagai jenis ikan yang bermigrasi. Namun demikian selalu ada saja pihak-pihak dari luar kawasan yang tidak menghormati tatanan ini dan berupaya menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak dan jala. Yahwa menyebutkan sudah berkali-kali beliau berhasil menangkap para pelaku pengrusakan tersebut dan banyak di antaranya yang kemudian dikenakan sanksi denda antara Rp5.000.000 hingga Rp10.000.000.

Yahwa berpendapat bahwa sebenarnya tidak sulit menjaga kawasan laut dari para pelanggar hukum [konservasi] karena saat ini teknologi telekomunikasi sudah berkembang pesat. Setiap warga atau pelaut yang melihat adanya pelanggaran di wilayah laut bisa dengan mudah menghubungi pihak berwenang dengan menggunakan telepon selular namun masalah utama di lapangan adalah seringkali pelaku pelanggaran memperalat warga lokal untuk kepentingan mereka sehingga hal ini mempersulit upaya penegakan hukum di lapangan.

Kesimpulan

Dari hasil wawancara kami dengan Yahwa kami berkesimpulan bahwa Yahwa adalah tokoh masyarakat yang berpengaruh tidak hanya dalam lingkungan masyarakat adat tetapi juga disegani oleh aparat pemerintahan lokal. Jiwa kepemimpinan yang beliau miliki adalah kombinasi yang menarik antara karakter pribadi dan pengetahuan yang berkembang secara alami melalui pengalaman lapangan selama puluhan tahun. Walaupun tidak mengenal tulis-baca, namun Yahwa sangat memahami konsep konservasi lingkungan laut dan bersama-sama masyarakat adat nelayan berjuang mempertahankan kelestarian taman laut di sekitar Iboih dari ancaman pengrusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan hasil perbincangan selama sekitar 2 jam-an tersebut kami juga berkesimpulan bahwa warga lokal belum merasakan adanya perubahan yang signifikan dari ketinggian muka air laut. Perubahan juga belum terjadi pada volume air sumur. Warga lebih merasakan adanya perubahan pola angin yang mulai terjadi tahun ini yang berpengaruh terhadap pola arus laut dan migrasi/populasi ikan. Selain itu penurunan jumlah hasil tangkapan nelayan mungkin saja terjadi akibat kerusakan ekosistem bawah laut, misalnya kerusakan terumbu karang, sehingga populasi ikan di wilayah sekitar lokasi survey mungkin menurun akibat degradasi lingkungan. Kemungkinan lain yang membutuhkan penelitian lebih lanjut yang akurat adalah hubungan antara kenaikan suhu udara dengan kenaikan suhu air laut dan kerusakan terumbu karang, karena kenaikan suhu air laut juga memungkinkan terjadinya kerusakan terumbu karang, misalnya seperti yang dikenal sebagai proses “bleaching” yaitu perubahan warna terumbu karang menjadi putih (biasanya terjadi secara massal) yang merupakan salah satu indikator kenaikan suhu air laut.


Contoh fenomena coral-bleaching


Skema proses terjadinya coral-bleaching


*Catatan Khusus:

Terumbu karang (coral) hidup bersimbiosis dengan sejenis alga laut yang sangat kecil yang disebut sebagai zooxanthellae. Terumbu karang melindungi zooxanthellae dari pemangsanya dan sebaliknya zooxanthellae yang merupakan produsen makanan akan memberikan sisa produksi makanannya bagi terumbu karang sebagai bekalnya hidup dan bereproduksi. Zooxanthellae mensuplai sekitar 90% energi yang dibutuhkan terumbu karang untuk bertahan hidup.

Coral Bleaching adalah proses lepasnya zooxanthellae dari karang induk-nya akibat kenaikan suhu air laut. Hal ini dapat terjadi bila kenaikan suhu air laut mencapai antara 1.5 sampai dengan 2 derajat dari suhu normal habitat terumbu karang dan berlangsung antara 6 sampai 8 minggu. Zooxanthellae, selain sebagai pensuplai makanan bagi terumbu karang juga merupakan "pengisi warna" yang menghasilkan warna-warni pada kelompok terumbu karang, sehingga ketika zooxanthellae meninggalkan karang induknya maka warna yang akan muncul adalah putih yang merupakan warna tulang si karang tersebut. Proses "pemutihan" inilah yang kemudian disebut sebagai "bleaching".


**Catatan Kaki:

Panglima Laot adalah sebutan bagi Pimpinan Masyarakat Adat Nelayan di Aceh.

Pembangunan untuk Siapa?

Sekitar dua minggu yang lalu, tepatnya antara 5-9 November 2009, saya dan 9 orang teman tim training Climate Change & Poverty yang diselenggarakan oleh International Centre for Aceh & Indian Ocean Studies (ICAIOS), didampingi oleh dua orang supervisor yang masing-masing adalah ahli ekonomi lingkungan dan ahli biologi kelautan, berkunjung ke Pulau Weh. Pulau Weh adalah pulau yang berada pada ujung paling Barat Indonesia. Di pulau yang beribukotakan Sabang ini bahkan terdapat tugu 0 (nol) kilometer yang pengukuran & penetapannya melibatkan Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) dengan prasasti yang ditandatangani oleh Prof. BJ Habibie pada tanggal 24 September 1997. Perjalanan ini merupakan bagian dari proses pembelajaran kami terhadap isu-isu seputar perubahan iklim dan kaitannya dengan kemiskinan.

Pengalaman yang paling membekas dalam ingatan saya adalah pengalaman kunjungan ke Kampung Krueng Raya. Sebuah perkampungan nelayan yang berada dalam wilayah Kota Sabang. Di kampung ini saya melihat perpaduan yang menarik antara isu sosio-ekonomi dengan bentang alam pesisir yang akrab dengan ancaman gelombang pasang dan angin kencang. Dalam jarak sekitar 500 meter dari bibir pantai kami melihat tanggul dengan konstruksi batu yang kelihatannya sudah berada pada tahap penyelesaian. Sekilas tentu saja proyek pembangunan tanggul tersebut terlihat wajar berada pada lingkungan pesisir demikian, terlebih lagi bila mengingat pasca-tsunami 2004 banyak sekali proyek-proyek fisik infrastruktur bencana yang berhubungan dengan laut di bangun di seluruh Aceh. Namun fakta mengejutkan kami peroleh dari warga yang tinggal di perkampungan tersebut. Mereka mengeluhkan kerusakan habitat pantai yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan tanggul tersebut yang berdampak terhadap perekonomian warga sekitar.

Tanggul laut yang baru dibangun tampak di kejauhan
(Photo credit: Iin RZ)

Beberapa orang warga yang kami temui menyebutkan bahwa sebelum proyek tersebut berjalan warga dengan mudah bisa mengumpulkan ikan-ikan kecil, kerang, dan kepiting di sekitar pantai dan kondisi air laut di perairan dangkal sangatlah jernih. Seorang Bapak menggambarkan tingkat kejernihan air pada saat sebelum dibangunnya tanggul sebagai berikut:

"...dulu kalau kita lemparkan batu ke dalam air itu, kita masih bisa melihat jelas di mana jatuhnya batu itu demikianlah jernihnya air sebelum dam (begitu warga menyebut tanggul) dibangun..."

Kondisi air di pantai saat ini sangatlah keruh dan berwarna kecoklatan serupa keruhnya air sungai di hilir bila terjadi hujan deras di wilayah hulu. Jangankan untuk melihat batu yang kita lemparkan ke dalam air, bahkan bila kita celupkan jari ke dalamnya saja kita tidak akan bisa melihat jari kita dari atas permukaan air.

Kondisi pantai pasca pembangunan tanggul laut
(Photo credit: Iin RZ)


Menurut warga, sejak pembangunan tanggul mereka tidak lagi bisa menemukan ikan kecil, kerang dan kepiting di laut dangkal di sekitar pantai. Selain mempengaruhi pendapatan tangkapan nelayan di sekitar pantai, tanggul yang dibangun juga tidak sedemikian rupa dirancang untuk kemudahan akses atau keluar-masuk perahu-perahu nelayan dari pantai ke laut dan sebaliknya. Warga menceritakan bahwa pernah ada perahu yang karam akibat kesulitan mengakses jalur keluar-masuk melalui tanggul tersebut.

Nelayan lokal mengalihfungsikan perahu dan mata pencahariannya
dari pencari ikan menjadi pengumpul batu
(Photo credit: Iin RZ)


Hal lain yang juga menyedihkan bagi saya adalah mengetahui bahwa hutan bakau yang baru saja dirintis kembali di sekitar pantai hasil kerja gotong-royong masyarakat dengan Dinas Perikanan dan Angkatan Laut juga ikut terancam kelanjutan hidupnya akibat tanggul tersebut. Menurut supervisor lapangan kami yang merupakan ahli biologi kelautan, habitat hutan bakau tersebut terganggu karena tanaman yang sedianya bertahan hidup dengan kondisi air yang secara berkala pasang & surut terpaksa harus menanggung situasi terendam air sepanjang waktu akibat pembangunan tanggul.

Hutan bakau yang terancam rusak akibat habitatnya diganggu
(Photo credit: Iin RZ)


Lalu di mana semua kekacauan ini bermula? Warga menyebutkan bahwa mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan tanggul tersebut. Tidak ada proses konsultasi di tingkat kampung untuk menjaring masukan sebelum terlaksananya proyek pembangunan tanggul tersebut. Ketika saya menanyakan kira-kira untuk tujuan apa tanggul tersebut dibangun, seorang Ibu dengan tegas menjawab:

"...dam itu dibangun supaya air pasang tidak masuk ke kampung. Tetapi kenyataannya setelah dam itu terbangun pun air masih bisa meluap ke kampung melalui alue (kanal) yang melintasi kampung... mungkin akan lebih baik bagi kami kalau batu-batu besar yang digunakan untuk membangun dam tersebut dibagikan ke warga untuk dijual lagi..."


Kanal (alue) yang melintasi perkampungan
(Photo credit: Iin RZ)


Ya, pasca tsunami 2004, banyak warga Kampung Krueng Raya yang beralih mata pencaharian sebagai pemecah dan pedagang batu pecahan yang dijual untuk kebutuhan konstruksi. Mereka menggali gunung batu yang merupakan dataran Pulau Klah yang berada di seberang perkampungan sebagai sumber batu pecahan. Untuk mencapai Pulau Klah dan mengangkut batu ke kampung, warga menggunakan sampan-sampan kecil. Menurut warga hal ini terpaksa dilakukan karena pasca tsunami banyak warga yang kehilangan perahu-perahu yang berukuran lebih besar yang dulunya bisa digunakan untuk mencari ikan ke perairan yang berada lebih jauh dari kampung. Dengan sampan kecil kemampuan mereka mencari ikan laut menjadi berkurang sementara tuntutan pasar akan kesediaan batu untuk konstruksi pada proyek-proyek rehabilitasi & rekonstruksi melonjak naik sehingga warga pun akhirnya banting stir dari ketergantungan penuh pada tangkapan laut kini menjadi 50-50 antara menangkap ikan dengan menggali batu.

Seorang warga sedang menurunkan batu yang dikumpulkan dari Pulau Klah
(Photo credit: Iin RZ)



Wajah kampung nelayan yang berangsur-angsur menjadi
kampung penghasil batu pecahan
(Photo credit: Iin RZ)


Melihat situasi tersebut, saya pikir warga kampung ini lebih membutuhkan pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan tanggul. Bayangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh tidak sensitif-nya pemerintah daerah terhadap kebutuhan pembangunan ekonomi tersebut, bukan hanya berwujud pada proyek tanggul salah kaprah yang merusak ekosistem pantai tapi juga ada resiko kerusakan lingkungan yang parah yang akan menimpa Pulau Klah akibat eksploitasi terus-menerus oleh masyarakat sekitar sebagai manifestasi tuntutan ekonomi. Herannya, begitu banyak lembaga asing baik donor maupun organisasi nirlaba yang giat menyuarakan pembangunan berbasis masyarakat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, namun masih saja aparat berwenang menganggap remeh hal tersebut seolah setiap pembangunan fisik tidak mutlak mempertimbangkan lanskap sosial dan lanskap lingkungan alam. Dugaan saya, proyek ini mungkin contoh lain dari proyek-proyek kejar tayang sebagaimana yang lazim dilakukan oleh pemerintah daerah menjelang akhir tahun anggaran.

Sayangnya waktu kunjungan lapangan yang kami miliki sangat singkat, sehingga kami tidak punya cukup waktu untuk berkunjung dan mendiskusikan hal ini dengan aparat terkait. Saya sangat ingin kembali ke Kampung Krueng Raya suatu waktu nanti, masih banyak pelajaran lapangan yang saya butuhkan di daerah ini.