Monday 20 April 2009

ARCHICULTURE

Archiculture is a documentary movie about the dynamic world of Architecture school. I think workload and learning process is similar in every Architecture school around the world, regardless nations or races.

By clicking on the title above you will follow the Archiculture official website, there you will find series of movies that might lead you to experience the way students of Architecture learning-institutions shape their ideas and concepts.

Enjoy & have fun!

Saturday 18 April 2009

SHAKIRA: Hips don't lie

Please enjoy one of my favorite songs ever!
By clicking on the title above you'll be directed to youtube.
I'm sorry if it doesn't work 'coz sometimes some videos are not available in certain countries.

I'm learning to make those Shakira's moves!!
Come on folks, move with me...
:)

Thursday 16 April 2009

iwannalearnspanish

Click on the title above if you wanna learn Spanish as much as I do.
Have fun!

E Q U I L I B R I U M

What do you have in mind when you hear:
"e q u i l i b r i u m"?
To me the word sounds like music, it has its own tone and harmony.
It sings.

In general meaning, equilibrium means a sense of balance. It is the state in which something or someone reach its/her balance point. That is how I expect this blog, a space of my thoughts, would work to me. It would somehow assist me to reach that state of balance of my everyday life. It would detoxify me from anger, hurt, or excitation. It would turn me back into null, to steadiness.

Welcome to my equilibrium, a space in where sometimes I might express my own battle to reach a peace of mind.


Indonesian:
Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata:
"e q u i l i b r i u m"?
Di telinga saya kata ini terdengar seperti musik. Dia memiliki nada dan iramanya sendiri.
Kata ini bernyanyi.

Secara umum, equilibrium berarti keseimbangan. Equilibrium juga bermakna sebuah situasi di mana sesuatu atau seseorang mencapai titik keseimbangannya. Inilah harapan saya pada blog ini, sebuah ruang di mana saya bisa menumpahkan rasa & pikiran, dan membantu menyeimbangkan hidup keseharian saya. Menetralkan saya dari rasa marah, terluka, dan kegembiraan yang meluap-luap, mengembalikan saya ke titik nol - keseimbangan.

Selamat datang di Equilibrium!
Di sini Anda mungkin akan menemukan ekspresi konflik pribadi saya dalam mencari cara berdamai dengan kenyataan dan berjuang mencapai keseimbangan.

Salam!

Stars are not such broken pieces of a sparkling thingy

Watching the nite sky through my double-glazed window, I read the Plough and trying to head toward a Polaris. It’s not a constellation class, Everyone. It’s me proceeding to welcome summer time when the Orion will go to rest for a while.

Sheffield, March 16, 2009

Magnolia Pertamaku | My First Magnolia


(Photo credit: Iin RZ)


(Photo credit: Iin RZ)

Lama sebelum berdiam di negeri Ratu Elizabeth ini, aku sering mendengar nama Magnolia, biasanya sering ditemukan di produk-produk kosmetik atau wewangian. Tanpa pernah melihat wujud aslinya, aku berkesimpulan kembang yang satu ini pastilah serupa dengan Lily atau Calla-Lily. Tapi intuisiku menolak mendekatkan tebakanku dengan Lavender, entah kenapa...

April ini Britania Raya mulai menyambut musim semi, bunga-bunga di taman-taman kota dan di halaman rumah penduduk pun mulai bermekaran. Bahkan sejak Maret lalu pasar rakyat di pusat kota mulai menjual aneka tanaman dalam pot yang sudah komplit dengan bunganya. Sekitar 12 hari yang lalu tepatnya 4 April 2009 aku berjalan-jalan dengan dua orang teman, yang juga berasal dari Indonesia, di seputaran Sheffield University. Dalam perjalanan aku melihat sebuah pohon berukuran lumayan besar berdiameter kanopi sekitar 2 meter-an dengan penampilan yang sangat memikat. Pohon ini tidak berdaun, seluruh cabang dan rantingnya dipenuhi bunga berwarna merah muda pucat yang sudah mekar sempurna! Dari jauh aku berpikir pastilah itu sejenis tanaman Nusa Indah yang sering aku lihat di kampung halaman, namun setelah didekati terlihat jelas bahwa tanaman ini berbeda dari Nusa Indah. Seluruh bunganya mengembang dan terbuka ke arah atas dengan tekstur kelopak serupa Lily (atau serupa Melur di Indonesia). Sayangnya tidak satupun dari kedua temanku mengetahui apa nama tanaman nan cantik itu, tapi aku masih beruntung salah seorang temanku membawa kamera saku sehingga aku sempat memotret si pohon penuh bunga itu.

Minggu pertama hingga minggu ketiga April adalah liburan paskah bagi kami semua (kami adalah orang-orang yang masih bersemangat menuntut ilmu walau kadang-kadang otak terasa sulit untuk diajak bekerjasama). Aku dan seorang teman sepakat untuk menghabiskan minggu pertama liburan dengan berjalan-jalan ke dua kota utama di Scotland yaitu Glasgow dan Edinburgh. Kunjungan kami ke Glasgow diawali dengan menikmati musim semi ala rumah kaca di Botanical Garden. Lumayan, temperatur di dalam ruang Botanical Garden Glasgow bisa membuat kami sedikit lebih santai setelah sebelumnya menggigil berjalan di udara luar yang beku (sungguh musim semi yang aneh!).

Di Botanical Garden inilah aku menemukan jawaban dari rasa penasaranku tentang tumbuhan cantik yang aku lihat beberapa hari sebelumnya di Sheffield, pohon besar penuh bunga merah muda itu bernama: Magnolia!

Menakjubkan, bahwa butuh waktu 4 hari dengan jarak tempuh sekitar 2-3 jam perjalanan menggunakan kereta api untuk menemukan nama Magnolia :)
Tapi aku merasa sangat puas! Satu pengetahuan baru yang mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu penting tapi bagiku terasa membahagiakan (dan, hei, tebakanku bahwa Magnolia tidak berdekatan rupa dengan Lavender ternyata benar!)

Musim semi ini bukan hanya musim semi pertama seumur hidupku, di sini di Britania Raya ini, aku juga telah menemukan Magnolia Pertamaku.

Sheffield, 16 April 2009.

*catatan kaki: terima kasih buat Diana atas pinjaman kamera sakunya :)

Wednesday 15 April 2009

Beberapa Link yang Ikut Bermigrasi dari Multiply | Some Links from My Old Blog in Multiply

Link menuju galeri foto seorang teman foto-jurnalis, Tarmizy Harva: http://www.tarmizyharva.com/

Link to a blog of Kadek Krisna Adidharma. He's a Bali Based environmental engineer, cultural liaison, interpreter, and columnist for The Jakarta Post. I met him in a reading event in Surabaya, Indonesia, on August 2007.
http://www.adidharma.net/

Link to a blog of Sean Whelan. An Australian writer and art performer. I met him in a reading event in Surabaya, Indonesia, on August 2007. I like his works, hope you can enjoy them too.
http://www.loveisthenewhate.blogspot.com/

Link menuju galeri foto salah seorang penghuni rumah kami di Aceh, Fakhrurrazi
:)
Well, I have to say if his pieces are incredible!
Please enjoy your visit to:
http://www.ojiphotography.com/

To open those links above just simply copy & paste each of them into your browser.
Thanks.

Something Worth to Read from Tempo Magazine

"Why We Are Different from Malaysia" adalah sebuah tulisan dalam rubrik Opini Majalah Tempo English Edition yang terbit 14 Januari 2008.

Tulisan ini menunjukkan pembelaan yang sangat kuat terhadap harga diri dan integritas Bangsa Indonesia yang tengah dijadikan bulan-bulanan oleh Malaysia. Opini ini berakar dari pernyataan seorang pejabat Malaysia yang menyinggung teman-teman pekerja media di Indonesia. Saya pribadi merasa bahwa membaca tulisan (yang cukup tajam) ini seolah membakar semangat patriotisme yang semakin timbul tenggelam terbawa arus modernitas yang merujuk makin ke Barat.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat Saya terhadap teman-teman berkebangsaan Malaysia serta dengan segenap penghargaan kepada Majalah Tempo sebagai sumber tulisan ini, berikut Saya sadur kembali opini tersebut untuk di-hikmati lebih banyak manusia Indonesia di manapun berada:

Why We are Different from Malaysia
Tempo English Edition, January 14, 2008, Opinion, page 10.

There is difference in the historical experience between this republic [Indonesia] and our neighboring kingdom [Malaysia] in the way independence was achieved.

Relations between Indonesia and Malaysia have not been at such low ebb since the establishment of ASEAN. And this unhappy state of affairs has not been helped by senior officials and politicians in Kuala Lumpur.

Last week in Bali, Datuk Seri Zainuddin, Malaysia’s Information Minister said that the media in Indonesia had been “overzealous” with the freedom it was “granted” since the fall of the New Order. He condemned the Indonesian media because it had expressed opinions about the Malaysian opposition party leader Anwar Ibrahim.

Datuk Seri Zainuddin’s criticism will have no serious impact on the life of the Indonesian media; journalists here have already dismissed his opinion, mainly because it is laughable. After all, the Datuk has no authority at all in this republic. But we, the people of Indonesia, can use it to examine some fundamental differences between the two nations.

Malaysia’s economy is more developed than that of Indonesia, and there is little corruption there. There is no terrorism, -although two terrorists in Indonesia came from Malaysia, which allowed an organization like Jamaah Islamiyah to thrive until its leaders returned to Indonesia. Meanwhile, Malaysia is safe, prosperous, and orderly.

But there is history behind these differences. Malaysia never experienced an independence revolution like Indonesia, with arms and violence. This revolution was like a massive earthquake: it shocks have lasted a long time.

Because of these Indonesian revolutionary shocks, for example, the government once applied a system of “guided economy” which was “anti-West”, and which eventually placed bureaucrats and generals in control of the production and distribution of goods and services. The result was the economic chaos of 1958-1966 and a huge lost of opportunity.

Not only that, from the “guided economy” grew the arbitrary system of permits in the business world which continues to this day, and which gave corruption the chance to flourish.

But these revolutionary shocks were not permanently bad. They taught the people that there is a high price for freedom: we made sacrifices to achieve it. And it was these revolutionary shocks that in 1998 motivated young Indonesians to be prepared to die for the aim of the reform movement, -one of which was to have an unshackled press in Indonesia.

By regarding Indonesian press freedom as something that was “granted”. Datuk Seri Zainuddin showed how distant he is from Indonesian experience. Fundamental rights are not gift. Fundamental rights in this republic were attained with blood, tears, and lives, -including that of Munir.

Included among these rights is the right to opposing political opinions, and to voice them on the streets.

To this day, Malaysia has not guaranteed these rights. We should not become angry with them. That nation has never known the effort to win rights by radical self-sacrifice, by being jailed, exiled, or killed. This is why it is so easy for the Kingdom of Malaysia to gag the press by requiring permits to be renewed every year; by detaining political opponents for unlimited periods of time without trial; and even banning non-Muslims from using the word “Allah” for God, as if the Kingdom of Malaysia can appoint someone as the holder of a monopoly on words.

But, while understanding this, there is nothing wrong with our being proud of the gaps in our poverty: The Republic of Indonesia is a living democracy with grassroots support, not a beautiful aquarium inhabited by mute fish.#

Semoga bermanfaat!

Salam.

Akan & Selalu 1

Dalam riak rindu yang asing:
Ku-eja langit malam
sembari memesan mimpi pada bulan,
tentang hasrat liar
yang tertanam di ombak-ombak
(pada laut, aku pertama kali cinta,
kemudian terluka)
Hanya laut dan selalu laut
yang akan kembali mengawinkan kita
dengan buih dan deburnya yang gelisah
dengan hangatnya yang asin dan basah.
Lalu Angin memelukku,
dan kita menari telanjang kaki.
Medan - 11.01.1999

Akan & Selalu 2

Aku terjaga
ketika hari yang begitu muda menggeliat di kaki langit.
Lalu
kicau burung dan gemercik air keran dan derum dunia di luar jendela,
menyempurnakannya.
Namun nada yang sama masih menggantung di ujung diamku:
harpa neptune, tarian ikan-ikan, dan gemerisik dedaunan;
(Aku belum sempat berterimakasih akan mimpi yang disuguhkan bulan)
Dan nada yang sama memenuhi ruang rasa.
Dalam Bahasa Langit:
Bulan dan Mimpi dan Laut
telah mengembalikan
Cinta
yang pernah kutitipkan dulu sekali.
Medan - 11.01.1999

Euphoria


(karena cinta kita adalah air)


aku melihat
kau dan aku bergelung di dalamnya, berputar, dan mengalir,
tak ingin menepi.

sesekali kita melompat terlalu tinggi
lalu udara melengkapi warna
bagi petualangan sarat jejak,
yang mengapung di waktu-waktu.

pernah aku terjerembab di lumut-lumut dan kau memberiku energi untuk melepaskan kepedihan.

sekali waktu kau terbelit di akar-akar dan aku pun membebaskanmu.

perjalanan yang indah bukan?
aku belum ingin terjaga. kau pun belum memaksa menepi.

mari mengalir lagi, cinta ini tak berujung.
kita boleh menguap ke udara dan selalu kembali.
atau kau memilih larut menjelma kristal sempurna?

karena kita,
tak pernah luntur
dalam kehilangan dan pengkhianatan.

Surabaya - 06.08.2007

Pazel

Aku telah bergerak ke hujan-hujan
mengalir di sungai-sungai
dan belajar memahami pepohonan:
Kau masih di sana,
bercengkerama dengan matahari yang sama
yang menuntunku menemukanmu.
Keping-keping cerita sudah terlalu lama terbiarkan, berantakan.
(Hingga kupu-kupu pun tak terbang lagi)
Genapi Aku.
Ilustrasi ini butuh diutuhkan.

The Casino Club - 05.08.2007

Soliloquy

Cinta,

aku selalu punya sejuta kata-kata untuk dibagi denganmu

tapi aku memilih menikmatimu dalam diam.

aku menikmati menghirupmu, menjadikanmu nafasku.

aku bernafaskan-mu dan kau merasuki-ku

tanpa mantra-mantra.

dunia kau-aku begitu sempurna,

tanpa hiruk-pikuk kata-kata.


Surabaya - 06.08.2007

Senja: Sebuah Komposisi

Ingin kuulang kembali:

senja di pantai


ketika matahari merah saga tergelincir di horison.


Kau-Aku bercakap-cakap tentang Tuhan,

yang lama tak diperbincangkan orang.


Momen itu sublim di ruang dadaku.


Bahkan lumpur dari rawa,

di mana kita sempat memotret bangau,

masih basah di sepatuku.


Kala itu cemara laut menjadi rhythm

dan gerimis melarutkan waktu di selisih Kau-Aku.


”Sayangnya...,” katamu

”...ruang dan waktu hanya milik Tuhan yang kita kenal itu.”


Oh, betapa ingin kukirimkan gelombang magnet ke pangkuanmu detik ini juga,

(ribuan detik setelah senja di pantai itu)

untuk membagi ilustrasi yang berloncatan riuh menggelisahkan.


Tak adil bagiku menikmati komposisi sesempurna ini tanpa menyertakanmu.


Namun ruang dan waktu milik Tuhan yang kita kenal itu, tak bisa dipesan untuk mengekalkan kenangan.


Bangau-bangau kini beterbangan dari hatiku,

pulang mengendarai angin entah ke mana.


Adakah mereka singgah di pintumu menarikan ”au revoir”?


Btj – 29.12.2007

Potret Sepi

Pernah aku memotret sepi dalam rupa badai yang bertubi-tubi menghempas jendela.

Ketika itu, keyakinan memiuh.

Harapan yang beriak-riak tak lagi mengalir sampai ke hati.

Btj – 29.12.2007

Butterfly Dance

Pernah aku berjalan telanjang menyeberangi peradaban itu
untuk tiba di pelukmu yang pekat, yang siap melumuri pori-poriku
dengan nafas dan kehidupan.

Dalam romantisme denyut jantung, tiba-tiba kau menjelma kekosongan
yang menggigilkan.
Pelukanmu menjadi ratusan kupu-kupu yang menari dalam gerakan berpilin-pilin
yang memualkan dan membekukanku pada satu titik
seolah-olah seluruh gravitasi berada tepat di bawah telapak kakiku.

Tak pernah kutemui ilustrasi seperti ini sebelumnya.
Ratusan pasang sayap putih berkilauan di bawah cahaya bulan tujuh per delapan,
melakonkan ritual patah hati dan membungkusku ke dalam jejalin kepompong raksasa.
Menyedot seluruh makna hidup, menjadikanku pula kehampaan.

Aku terperangkap pada-mu.
Kepompong raksasa yang melayang-layang di bawah cahaya bulan tujuh per delapan.
Menjadi anomali di langit malam, yang tengah disesaki layang-layang
yang berdandan dan saling berebutan ruang dengan harga diri dan distorsi peradaban.

Aku tau, kau begitu bergairah menikmati warna-warninya.

Ku dengar deru nafasmu di kejauhan, seperti mudahnya kukenali aroma peluhmu
yang bercampur dengan amis dan asin pantai.

Sendiri, aku tersesat di langit malam.
Hilang di samudera bintang-bintang.

Udara yang mengilukan belulang berulang kali membisikkan pesan terakhir-mu:

”it’s winter now in Australia!”

Kuta – 09.09.2007

Gerhana

”Tak seorangpun ingin menjemput gerhana,” katamu.

Memburai kisah yang tengah kurajut diam-diam

ketika waktu yang sesekali luang kita tuang di beranda.

Kau lukis sepotong bulan yang sempurna di matamu,

tanpa carut-marut luka dan sejarah.

Sepi yang merambat naik di kusen jendela malam itu

meminjamkan bulan-mu untukku bercermin,

padanya Aku selesaikan sebuah monolog:

”Aku telah berdamai dengan sejarah.

Sepasang sayap telah kupesan pula dari Bintang Utara.

Pernahkah Aku mengenalkan Musim pada-mu,

sahabatku yang lincah menabuh perubahan itu?

Sesaat nanti, Dia akan menjemputku

untuk membentang lanskap di sepanjang benua,

menabur mimpi ke setiap anak sungai.

Betapa akan kurindu aroma padi dan daun kuda-kuda

dari seberang halaman.

Dan ketika Kau merindukanku,

mungkin sepotong bulan yang Kau simpan di saku-mu

telah menjelma gerhana.”


Btj - 05.Jan.2008

Terlahir Merdeka

Ada yang sangat aku sukai dari namaku, yaitu bahwa nama ini tidak memberikan embel-embel citra akan sebuah kelompok etnis atau ras. Tidak juga dengan sewenang-wenang mengklaim bahwa aku adalah "milik" seseorang atau sekelompok orang, atau dengan tidak berperikemanusiaan meletakkanku pada kelas tertentu di dalam masyarakat.

Aku, seperti manusia lainnya di dunia, terlahir merdeka. Mungkin kedua orang tua dan keluarga besarku sangat memaklumi hal ini sehingga tidak satu pun dari mereka melakukan klaim atas diriku dengan membubuhi nama mereka di belakang namaku, bahkan walaupun mereka memiliki kesempatan itu pada saat aku belum mampu berpikir untuk memilih.

Walaupun pada usia belasan aku pernah berpikir betapa malangnya aku karena tidak memiliki nama keren seperti tokoh kartun atau seperti para model di majalah remaja pada masa itu, namun akhirnya aku paham bahwa nama seseorang biasanya mengandung muatan romantisme milik ke dua orang tuanya atau merupakan manifestasi doa dan harapan besar. Kini aku cukup berbahagia dengan namaku.

Sesi 2 - kutipan diskusi dari blog lama di multiply:
Tulisan di atas adalah perspektifku tentang NAMA. Buah pikir, rasa dan gagas betapa merdekanya aku memiliki nama yang merupakan identitas pribadiku sejak lahir. Nama ini tidak meletakkan aku sebagai representasi sebuah kelompok manusia. Namaku menjadikanku aku.

Ide berbagi cerita tentang nama ini berawal dari obrolan dengan beberapa teman berkebangsaan Eropa dan China yang merasa takjub bahwa dari 3 penggal kata yang membentuk namaku, seluruhnya murni milikku sendiri. Seorang teman bernama belakang "Blunt" (dalam kamus Bahasa Inggris Oxford artinya: tumpul) menyampaikan kekesalannya bahwa nama belakangnya itu seringkali menjadikan dia sasaran celaan teman-temannya semasa kecil (padahal, percayalah: he's very sharp and thoughtful).*

Seorang pembaca "Terlahir Merdeka" di multiply menegurku, beliau mengingatkan bahwa sangat tidak mungkin bila aku menganggap diriku merdeka hanya karena nama, karena manusia hidup di dunia harus mematuhi aturan dunia. Aku setuju dengan pendapat tersebut. Aku tahu bahwa hidup di dunia manusia yang beradab, kita akan (dihadapkan pada pilihan) menjalankan serangkaian peraturan-manusia. Contohnya, aku tidak keberatan ketika database kampus mengenaliku hanya sebagai "trp08iz", tentu saja karena aku paham bahwa aku telah menjadi bagian dari populasi kampusku dan harus menghargai sistem dan peraturan yang berlaku agar studiku berjalan lancar dan cita-cita tidak terhambat (hahaha..).

Kritik oleh seorang pembaca di multiply juga menyinggung-nyinggung tentang hukum rimba. Jujur saja, sebenarnya aku bingung, kenapa dari bahasan tentang nama yang merdeka, lalu ada yang menghubung-hubungkan dengan rimba ya?? Nah, kalau ditanya tentang hukum rimba aku percaya bahwa kalau pun kita hidup di hutan belantara tetap ada hukum dan tradisi yang harus dihormati dan dijalankan. Misalnya, hukum rimba yang paling terkenal adalah "natural selection" atau "survival of the fittest" yaitu hukum yang menegaskan bahwa siapa yang kuat dialah yang bertahan dan selamat. Namun, sayangnya, hukum rimba belantara tersebut tidak mementingkan nama melainkan berpijak pada kekuatan fisik dan strategi bertahan ala rimba belantara sehingga tanpa mengurangi rasa hormatku pada sang kritikus, aku terpaksa berkesimpulan bahwa beliau telah salah kaprah.

Dalam tulisan awal tentang nama, aku sama sekali tidak berbicara tentang Tuhan. Tapi menarik juga karena sebuah kritik dari pembaca tulisanku, aku lalu menyadari bahwa Tuhan yang aku sembah (dalam keyakinan kami) tidak mengalokasikan surga dan neraka berdasarkan nama manusia melainkan berdasarkan: perlakuan kami terhadap makhluk hidup lain di dunia, perlakuan kami terhadap dunia itu sendiri, dan cara kami mengungkapkan syukur dan beribadah pada-Nya. Dalam agama yang aku yakini, semua manusia (tanpa pandang nama) berhak berdiri di baris depan untuk menyembah Tuhan kami (atau, meminjam istilah "pasar": siapa cepat dia dapat! ;p).

Aku senang berbagi perspektif, bukan berarti bahagia menjejali pembaca tulisanku dengan obrolan 'koran bungkus kacang'. Tulisan menjadi tidak hidup dan tidak memiliki karakter tanpa apresiasi orang lain. Aku berterima kasih pada semua orang yang mau meluangkan waktu dan mengomentari tulisanku. Apapun isi kritiknya. Aku yakin semua manusia berhak mengembangkan perspektifnya sendiri tentang berbagai hal dan aku menghargainya. Berkaitan dengan nama, ketika ada orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan nama belakang (warisan nenek moyang) dengan alasan "I don't belong to that name", bagiku itu sah-sah saja selama si pengambil keputusan sadar akan resiko dan tanggung jawab yang akan dipikulnya.

Di luar ekspektasiku ketika menuliskan gagasan tentang nama yang merdeka, diskusi panjang tentang nama dan kemerdekaan lahir manusia ternyata mengarahkan aku, pembaca, dan pemberi kritik pada hidup dan peraturan-peraturan yang membungkusnya. Menurutku pribadi, hidup akan selalu tentang menentukan pilihan. Berikut sebuah strategi yang sering aku praktekkan berkaitan dengan menentukan pilihan: ketika hati terasa sempit dan pikiran tidak lagi dapat menemukan pilihan-pilihan, maka membacalah!
IQRA! demikian Tuhan kami berpesan, bacalah segala sesuatu di alam ini, baik yang tersurat maupun tersirat. Membaca bukan berarti literal membaca buku atau kitab saja, tapi juga berdoa, lalu membaca petunjuk Tuhan yang tersirat dalam laku duniawi.

Sekali lagi terimakasih atas kunjungan & apresiasinya. Diskusi tentang nama belum aku anggap selesai, tulisan ini masih terbuka untuk ditanggapi dan diskusi dapat dilanjutkan kapan saja!
:)

Salam hangat!
18 Oktober 2008

*Beberapa bulan setelah tulisan ini selesai, aku menemukan berita menarik di internet tentang mulai punahnya beberapa nama belakang (surname) tradisional British dengan alasan bahwa nama-nama tersebut sudah terlalu kuno dan beberapa malah mengandung makna konotatif (seperti kisahku tentang "Blunt") yang membuat si pemilik enggan menggunakannya. Berita lengkapnya bisa dilihat di:
http://www.metro.co.uk/weird/article.html?Britain_running_out_of_Cocks&in_article_id=598012&in_page_id=2
Silakan copy & paste link tersebut ke browser Anda. Selamat membaca!


Sesi 3 - Perbincanganku dengan Ed Ferrari, Kamis, 23 April 2009
Karena butuh untuk mencantumkan nama Ed di dalam formulir aplikasi Research Ethics Approval, aku menanyakan nama asli Ed apakah hanya "Ed" saja atau seharusnya tertulis sebagai "Edward". Sambil tertawa Ed berkata bahwa dia lebih suka bila namanya tertulis sebagai "Ed" saja, walaupun nama resminya di paspor adalah "Edward". Kami lalu membahas tentang pergeseran penggunaan nama lengkap di Great Britain, dia menunjukkan contoh seorang Professor rekan riset-nya memilih mencantumkan inisial 3 nama depan + 1 nama belakang dengan sisipan dalam kurung nama panggilannya, sehingga kira-kira jadinya begini: AXY (Tony) Sumthin, tertulis di makalah ilmiah yang dipublikasikan secara nasional di UK.
"Tony" adalah nama pendek si Professor dari A = Anthony.
"Formality has become history," ujarnya seraya tersenyum lebar.

Aku lalu menjelaskan pada Ed, bahwa di negaraku kami lazim menggunakan nama lengkap tanpa menyingkat nama tengah, bahkan sebagian besar orang tidak memiliki nama keluarga atau nama belakang yang baku (surname). Walaupun di beberapa daerah dan beberapa suku di Indonesia penggunaan nama belakang adalah wajib secara adat dan tradisi. Dia kelihatan sangat terkejut,
"I never know that! How do you do that??"

Aku maklum dengan keterkejutan Ed, di negaranya semua daftar dan sistem disusun secara runut menggunakan alfabet dari nama-nama belakang. Tentu saja dia bingung membayangkan apa yang terjadi bila sebuah negara tidak mewajibkan warganya menggunakan nama belakang (surname).
Dengan senyum bangga aku menambahkan bahwa nama belakangku adalah milikku sendiri bukan nama belakang milik keluarga atau sejenisnya,
"I don't belong to any clan or anything. I'm a free entity"
Masih dengan nada takjub Ed bergumam,
"Whao, isn't it good to be free?"

Percakapan 2 jam yang cair itu pun berakhir di situ, karena aku harus buru-buru kembali ke flat untuk menyelesaikan beberapa essay yang tertunda.

Di luar, matahari musim semi seolah-olah ingin memanjakan setiap orang yang lelah berkurung dan menjerang tubuhnya dengan pemanas ruangan selama musim dingin lalu. Forum Cafe mulai menggelar kursi-kursi lipatnya yang baru di pavement sudut Timur-Laut taman Devonshire untuk penikmat sajian di luar ruang. Di lapangan berumput di bagian Selatan, orang-orang berbaringan untuk mandi sinar matahari di antara pohon-pohon cherry blossom putih.

Hari yang menyenangkan!

Seorang Sahabat, Pasangan Jiwa

Angin di Taman Devonshire menggigit ujung-ujung jubah kita
ketika aku tiba-tiba ingin berhenti menikmati bulan.

“tapi ini terlalu dingin,” katamu.
“tapi aku ingin menikmati purnama,” sahutku.

Dan kau menurut saja, seperti biasa, tidak kelelahan dengan segala kerumitan pikiranku.

“malam ini dingin, berikan aku sebuah kecupan saja, agar aku tau aku harus tinggal”
“tidak”
“kenapa?”
“tanpa alasan”
“kau bahkan berselingkuh di depanku, dengan purnama itu. O, betapa cemburunya aku!”
“aku sedang tidak ingin mencium mu, itu saja”

“aku akan melakukannya bila aku ingin, nanti”

Dan kau tetap menggenggam tanganku, si gadis pengagum purnama.

Seperti biasa, tidak kelelahan dengan segala kerumitan pikiranku.
Kau selalu mengerti, senantiasa melengkapi.

Bagiku kau pasangan jiwa, karena denganmu aku bebas berkata-kata.

“beritahu aku bila kau sudah selesai,” katamu sembari menghitung bola-bola baja penghalang skater remaja merusak mosaik yang lekat di dinding kurva. Malam ini tidak ada merpati-merpati urban yang biasanya kau beri makan remah-remah sarapan pagi-mu.

Entah bagaimana aku tau, kau belum akan bosan menungguku.
Seperti cukupnya kau bagiku: seorang sahabat, pasangan jiwa.

Wellington Street, 13 November 2008.

Migrasi dari Multiply

Beberapa waktu yang lalu aku iseng dan melakukan kenakalan "kecil" di blog lamaku di multiply: memasukkan iklan iseng dengan kode html ke halaman blog
:))

Ternyata sanksi nya lumayan juga, aku jadi gak bisa lagi mengisi halaman blog bahkan posting album foto pun jadi berantakan format dan tampilannya. Walhasil, dengan segala hormat, aku terpaksa memindahkan segala isi dari account multiply ku ke sini..

Semoga berhasil...
:))

The Scottish Parliament: Membiarkan Ruang Publik Menjadi Milik Publik


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ


Photo credit: Iin RZ

Ada yang menarik untuk diingat kembali dari perjalanan liburan Easter ke Edinburgh minggu lalu. Selain kota utama di wilayah Scotland ini menawarkan pemandangan yang superb dengan konsep perkawinan ideal antara kota lama dan kota barunya, Edinburgh memiliki gedung “The Scottish Parliament”, atau di Indonesia setara dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menyajikan rancangan gedung dan tata ruang yang unik. Gedung ini relatif baru dibangun, masa perencanaan dan konstruksi menghabiskan waktu sekitar 7 tahun sejak 1997 hingga 2004 dan mulai ditempati sejak Agustus 2004.

The Scottish Parliament berada di pojokan antara jalan Canongate (di Barat) dan Horse Wynd (di Utara), berseberangan dengan The Queen’s Gallery, dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua klasik campuran antara Medieval Gothic hingga langgam Victorian berpadu dengan bentang alam bukit Arthur’s Seat di sebelah Timur.

Di luar dari kontroversi besar anggaran dan rancangan bangunannya yang sculptural-modern dengan posisi di antara bangunan-bangunan tua yang dilindungi (yang bagi sebagian besar masyarakat Inggris Raya desain serupa ini masih dianggap sebagai hal yang tabu), satu hal yang membuatku kagum adalah upaya The Scottish Parliament membiarkan ruang publiknya menjadi milik publik. Tidak seperti layaknya gedung DPR(D) di Indonesia yang dipagari tembok & besi, halaman depan The Scottish Parliament dibiarkan terbuka dan dirancang untuk dinikmati khalayak ramai. Jalur pejalan kaki yang nyaman, ruang terbuka dilengkapi furnitur sebagai tempat rehat, kolam dan air mancur yang boleh digunakan untuk berendam kaki, lapangan rumput yang jadi ajang berjemur (ketika udara & matahari sedang bersahabat) atau tempat bermain bola kaki.

Menurutku gagasan penataan ruang publik yang tanggap dan terbuka terhadap pengunjungnya berhasil menjadikan keseluruhan lingkungan The Scottish Parliament menjadi semacam penghubung sosial (social hub), menjadikannya milik umum seutuhnya. Penataan ruang luarnya seolah-olah memiliki filosofi sebagai ‘pengingat’ (reminder) atau penyampai pesan bahwa gedung tersebut adalah ruang kerja para wakil rakyat yang selayaknya tidak menjaga jarak dengan masyarakat yang diwakilinya. Warga yang berseliweran di halaman depan ruang kerja para wakil rakyat ini senantiasa akan mengingatkan para pekerja di dalam gedung bahwa mereka bekerja untuk orang banyak, bukan semata untuk kepentingan pribadinya.

Sayangnya, karena waktu yang terbatas aku belum sempat melihat-lihat ke dalam gedung.
Bagi yang ingin tau lebih banyak tentang The Scottish Parliament silakan klik: http://www.scottish.parliament.uk/vli/index.htm

Hm, jadi tertarik untuk mengadakan safari Gedung DPRD ke seluruh Indonesia. Terus terang, selama ini dalam perjalanan ke beberapa kota di Indonesia belum pernah dengan sengaja meluangkan waktu untuk 'menjenguk' Gedung DPRD nya :)

Mungkin di antara teman-teman ada yang punya pengalaman serupa dengan Gedung DPRD di kota-kota di Indonesia?

*catatan kaki: terima kasih buat Laina atas pinjaman kamera saku-nya!! :)

Friday 3 April 2009

Equilibrium

What do you have in mind when you hear:
"e q u i l i b r i u m"?
To me the word sounds like music, it has its own tone and harmony.
It sings.

In general meaning, equilibrium means a sense of balance. It is the state in which something or someone reach its/her balance point. That is how I expect this blog, a space of my thoughts, would work to me. It would somehow assist me to reach that state of balance of my everyday life. It would detoxify me from anger, hurt, or excitation. It would turn me back into null, to steadiness.

Welcome to my equilibrium, a space in where sometimes I might express my own battle to reach a peace of mind.


Indonesian:
Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata:
"e q u i l i b r i u m"?
Di telinga saya kata ini terdengar seperti musik. Dia memiliki nada dan iramanya sendiri.
Kata ini bernyanyi.

Secara umum, equilibrium berarti keseimbangan. Equilibrium juga bermakna sebuah situasi di mana sesuatu atau seseorang mencapai titik keseimbangannya. Inilah harapan saya pada blog ini, sebuah ruang di mana saya bisa menumpahkan rasa & pikiran, dan membantu menyeimbangkan hidup keseharian saya. Menetralkan saya dari rasa marah, terluka, dan kegembiraan yang meluap-luap, mengembalikan saya ke titik nol - keseimbangan.

Selamat datang di Equilibrium!
Di sini Anda mungkin akan menemukan ekspresi konflik pribadi saya dalam mencari cara berdamai dengan kenyataan dan berjuang mencapai keseimbangan.

Salam!