Wednesday 15 April 2009

Seorang Sahabat, Pasangan Jiwa

Angin di Taman Devonshire menggigit ujung-ujung jubah kita
ketika aku tiba-tiba ingin berhenti menikmati bulan.

“tapi ini terlalu dingin,” katamu.
“tapi aku ingin menikmati purnama,” sahutku.

Dan kau menurut saja, seperti biasa, tidak kelelahan dengan segala kerumitan pikiranku.

“malam ini dingin, berikan aku sebuah kecupan saja, agar aku tau aku harus tinggal”
“tidak”
“kenapa?”
“tanpa alasan”
“kau bahkan berselingkuh di depanku, dengan purnama itu. O, betapa cemburunya aku!”
“aku sedang tidak ingin mencium mu, itu saja”

“aku akan melakukannya bila aku ingin, nanti”

Dan kau tetap menggenggam tanganku, si gadis pengagum purnama.

Seperti biasa, tidak kelelahan dengan segala kerumitan pikiranku.
Kau selalu mengerti, senantiasa melengkapi.

Bagiku kau pasangan jiwa, karena denganmu aku bebas berkata-kata.

“beritahu aku bila kau sudah selesai,” katamu sembari menghitung bola-bola baja penghalang skater remaja merusak mosaik yang lekat di dinding kurva. Malam ini tidak ada merpati-merpati urban yang biasanya kau beri makan remah-remah sarapan pagi-mu.

Entah bagaimana aku tau, kau belum akan bosan menungguku.
Seperti cukupnya kau bagiku: seorang sahabat, pasangan jiwa.

Wellington Street, 13 November 2008.

No comments:

Post a Comment