Saturday 19 February 2011

9 Kota Penyumbang Emisi Karbon dan Metan Terbesar di Dunia

Sebuah artikel di website National Geographic yang dirilis pada 9 Februari 2011 lalu mengemukakan hasil sebuah studi emisi gas polutan yang dilakukan di 100 kota dari 33 negara di dunia. Studi yang merupakan kolaborasi riset antara World Bank dengan The University of Toronto ini menyebutkan 9 kota di dunia yang merupakan kota paling berpolusi yaitu:

1. Rotterdam - Belanda
Rotterdam menghasilkan total emisi karbon dioksida dan metan rata-rata 29,8 ton per warga per tahun yang mayoritas merupakan hasil dari aktifitas pelabuhan yang berupa gas buangan bahan bakar kapal dan industri.

Port of Rotterdam 
(Image source: www.ordons.com via google)

2. Austin, Texas - Amerika Serikat
Austin berada di urutan kedua sebagai kota paling berpolusi dengan emisi karbon dan metan yang mencapai sekitar 24 ton per penduduk per tahunnya yang merupakan polusi yang dihasilkan oleh sektor konsumsi yaitu tingginya tingkat penggunaan kendaraan bermotor milik pribadi.

Austin, Texas - USA 
(Image source: michaelpaynespictures.blogspot.com via google)


3. Denver, Colorado - Amerika Serikat
Denver menghasilkan emisi gas polutan sebanyak rata-rata 21,5 ton per warga per tahunnya yang diperoleh dari aktifitas harian warga kotanya. Jumlah ini merupakan dua kali lipat dari total emisi New York yang 'hanya' mencapai sekitar 10,5 ton per warga per tahun. Gas polutan di Kota Denver juga disumbang oleh beberapa pembangkit listrik yang masih menggunakan sumber tenaga dari bahan tambang batu bara.

Denver, Colorado - USA
(Image source: www.bylandwaterandair.com via google)


4. Washington DC - Amerika Serikat
DC berada di urutan keempat dengan total emisi CO2 dan metan mencapai sekitar hampir 20 ton per kapita per tahun yang sebagian besar merupakan emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

Washington DC - USA 
(Image source: kenlevine.blogspot.com via google)


5. Minneapolis, Minnesotta - Amerika Serikat
Serupa dengan Denver dan DC, Minneapolis juga menghasilkan emisi karbon dan metan yang tinggi dari pembangkit listrik tenaga batu baranya dengan jumlah rata-rata sekitar 18 ton per penduduk per tahun.

Minneapolis, Minnesotta - USA
(Image source: www.aerialarchives.com via google)


6. Calgary - Canada
Calgary berada di urutan keenam dengan jumlah emisi yang menyerupai Minneapolis yaitu sekitar 18 ton per orang per tahun yang juga merupakan buangan dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

Calgary - Canada 
(Image source: www.canadianhomestayagency.com via google)


7. Menlo Park, California - Amerika Serikat
Kendati memiliki sumber pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan Denver, DC dan Minneapolis, namun Menlo Park/California menduduki peringkat 7 dunia sebagai kota pensuplai karbon dan metan terbesar dengan jumlah rata-rata 16 ton per orang per tahun yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar minyak pada kendaraan bermotor.

Menlo Park, California - USA 
(Image source: www.cswst2.com via google)


8. Dallas, Texas - Amerika Serikat
Penduduk Dallas menghasilkan sedikitnya 15 ton karbon dan metan per tahunnya.

Dallas, Texas - USA
(Image source: www.skyscraper.com via google)


9. Stuttgart - Jerman
Stuttgart mengemisi sekitar 12 ton karbon dan metan per penduduk per tahunnya sebagai hasil aktifitas industri kota.

Stuttgart - Germany
(Image source: www.flickr.com via google)

Studi di atas mengukur tingkat emisi karbon rata-rata yang dihasilkan dari aktifitas produksi dan konsumsi. Ada beberapa kota yang memiliki emisi tinggi sebagai hasil aktifitas industri, seperti misalnya Shanghai dan Beijing, namun konsumsi energi oleh warga kota yang efisien menghasilkan emisi karbon dan metan yang sangat rendah. Hal ini mampu membuat jumlah total emisi gas polutan di Shanghai dan Beijing lebih rendah dibandingkan kota lainnya yang menjadi objek pada studi ini. 

Para peneliti menyebutkan bahwa desain dan tata letak (layout) kota memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat emisi karbon yang dihasilkan warga kotanya. Kota dengan sebaran wilayah permukiman yang melebar membuat tingkat efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor sangat rendah, penduduk dengan jenis sebaran kota jenis ini cenderung menggantungkan pergerakan dan transportasinya kepada kendaraan bermotor pribadi. Sedangkan kota yang compact dengan tingkat kepadatan tinggi yang mengharuskan warga beraktifitas dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan umum akan mampu membantu menekan laju emisi gas polutan dari sektor konsumsi.

Hal ini pula yang membuat tingkat emisi karbon dan metan kota-kota di Eropa cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Amerika Serikat. Kota-kota di Eropa cenderung bersifat compact, dengan kepadatan tinggi dan sebaran kota (urban sprawl) yang terbatas. Sedangkan kota-kota di Amerika Serikat cenderung memiliki sebaran kota melebar ke arah suburban dengan kawasan permukiman baru yang dikembangkan bagi warga kota yang cenderung tidak menyukai tinggal di kawasan pusat perkotaan yang sibuk, dengan resiko perjalanan menuju lokasi bekerja akan memakan waktu lebih panjang dan konsumsi energi lebih tinggi serta emisi gas polutan lebih besar pula.

Dan Hoornweg, Urban Specialist yang terlibat dalam studi ini juga menyebutkan manfaat lain dari desain kota yang compact adalah bahwa bila seseorang dapat mencapai satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu yang lebih singkat selain dapat mendukung efisiensi waktu juga akan mampu meningkatkan tingkat kualitas hidup (the quality of life) orang tersebut. [Hasil studi lengkapnya akan di-publish di jurnal Environment & Urbanization tahun ini]

Dari studi di atas kita dapat melihat bahwa untuk menekan laju emisi karbon dan metan ke udara yang dapat membentuk dampak rumah kaca bagi bumi (yang mengakibatkan pemanasan global!), dibutuhkan berbagai upaya meliputi: desain ruang kota dan perencanaan tata guna lahan yang tepat; penggunaan sumber tenaga listrik ramah lingkungan (seperti sumber hydro, solar dan angin); efisiensi penggunaan listrik pada bangunan dan rumah tinggal; serta efisiensi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Selain itu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengimbangi emisi karbon, menyerap polutan dan debu sebagai hasil aktifitas masyarakat modern, serta mengurangi efek urban heat island akibat konsentrasi pembangunan dan kegiatan manusia di wilayah perkotaan adalah dengan bertanam [lebih banyak] pohon! Informasi lain terkait pengaruh pohon terhadap gas polutan bisa dibaca di:
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/bukan-sekedar-pohon.html
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/trembesi.html

Hasil penelitian Dan Hoornweg dan timnya menyisakan pertanyaan lain bagi saya. Melihat bahwa tidak satupun dari kota-kota yang disebutkan oleh Hoornweg [dan tim penelitiannya] merupakan kota yang berada di kawasan negara berkembang (developing countries), lalu kenapa gembar-gembor konsentrasi pengurangan emisi malah (seolah-olah) dilimpahkan menjadi tanggung jawab negara berkembang?

USA pernah berkeras tidak mau menandatangani perjanjian Kyoto kalau negara-negara berkembang tidak 'dipaksa' membatasi emisi karbon-nya (baca di: http://www.americans-world.org/digest/global_issues/global_warming/gw3.cfm).

Lalu dibentuk program-program khusus untuk negara berkembang, misalnya seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang bahkan UN membentuk projek khusus untuk menangani isu ini yaitu UN REDD Programme [http://www.un-redd.org/]. Dalam program seperti REDD ini negara-negara berkembang diberikan insentif untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutannya lalu implementasi dan progresnya dimonitor oleh negara-negara maju (terutama oleh negara pemberi dana). Keterlibatan Indonesia di REDD bisa dibaca di: http://acehclimatechange.org/2010/06/30/dana-perubahan-iklim-norwegia-gratis/ dan http://acehclimatechange.org/2010/07/27/badan-pengurangan-emisi-segera-dibentuk/

Bagaimana negara besar seperti USA, yang justru merupakan penyumbang terbesar emisi karbon dan metan (berdasarkan penelitian di atas) mampu 'mengatur' warga negaranya agar merubah gaya hidup penyumbang polusi menjadi lebih bertanggung jawab terhadap seluruh warga dunia lainnya? Lalu bagaimana kita sebagai warga negara berkembang bisa ikut mengawasi progres yang mereka lakukan untuk secara signifikan menekan pengurangan emisi dari negaranya? Mudah-mudahan saya bisa segera memperoleh jawaban untuk kelanjutan tulisan ini :)

Sheffield . 19 February 2011

Artikel Rujukan:
http://news.nationalgeographic.com/news/energy/2011/02/pictures/110209-surprisingly-dirty-cities-science-environment-global-warming-greenhouse/#/gassiest-cities-greenhouse-gas-co2-rotterdam_32050_600x450.jpg

Sunday 6 February 2011

Budaya Mendidik

Namanya Rayhan, anak laki-laki berusia sekitar 8 tahunan. Perawakannya sedikit lebih besar dari kebanyakan teman sekelasnya dan dia segera menarik perhatianku karena wajah dan penampilannya yang tergolong menarik untuk anak seusianya. Rayhan adalah salah satu murid-ku di sebuah Sekolah Dasar di pinggiran Kota Banda Aceh di mana aku sempat berbagi sedikit waktu menjadi relawan mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris.

Menurut guru wali kelasnya Rayhan adalah anak yang bandel sehingga walaupun tubuhnya agak besar dia didudukkan di bangku barisan depan di dalam kelas. Pernah suatu ketika aku mendengar cerita dari teman sekelasnya bahwa Rayhan divonis oleh wali kelasnya kalau sudah besar akan menjadi preman karena kenakalannya mungkin sudah mencapai ambang batas kesabaran si guru.

Rayhan kecil kemudian menjadi tantangan juga buatku. Kali pertama aku masuk ke kelas itu kami hanya belajar lafal abjad dan angka, tidak ada latihan dalam bentuk tulisan hanya belajar mengucap dengan benar dan berulang-ulang sambil sesekali diselingi cerita. Di minggu kedua, aku mulai memberikan latihan menulis. Rayhan yang duduk di deretan depan dengan cepat tertangkap mata olehku bahwa sementara teman-temannya menulis dia malah sibuk mengganggu teman-teman di sekelilingnya. Aku datangi Rayhan ke bangkunya dan bertanya kenapa dia tidak menulis, dengan ringan dia menjawab bahwa dia tidak membawa buku tulis. Aku tidak kehilangan akal, aku mengambilkan Rayhan selembar kertas kosong lalu memintanya menulis di kertas itu. Ketika jam pelajaran selesai dan teman-temannya mulai mengumpulkan tulisan, kulihat Rayhan tidak juga beranjak dari bangkunya. Kembali aku datangi dia dan menanyakan hasil pekerjaannya, betapa terkejut sekaligus merasa geli melihat kertas yang aku berikan padanya sudah berubah menjadi pesawat kertas! Tapi aku tidak mempermasalahkan kertas yang sudah bertransformasi menjadi pesawat itu, aku hanya berpesan padanya bahwa lain kali dia sebaiknya membawa buku tulisnya agar bisa berlatih menulis seperti teman-temannya yang lain,

"...kalau Rayhan gak mau ngerjain latihan, nanti Ibu bingung mau kasih nilai apa buat raport Rayhan" begitu ujarku. Dan dia hanya diam saja.

Pertemuan ketiga. Sebelum pelajaran dimulai, ketika aku baru saja melangkahkan kaki ke dalam kelas, aku sempat mencuri dengar percakapan Rayhan bersama teman-temannya di bangku deretan depan, sekilas mereka sepertinya tengah mendiskusikan tentang Michael Jackson. Aku sempat melihat Rayhan memegang bungkus CD bergambar Michael Jackson. Lalu pelajaran pun dimulai. Lagi-lagi, Rayhan tidak terlihat berminat mengerjakan latihan yang kali ini aku berikan dalam bentuk lembaran kertas bergambar untuk diisi oleh anak-anak. Aku kembali mendatangi Rayhan ke bangkunya,

"Rayhan, suka musik ya?" tanyaku

Dia terlihat terkejut sekaligus senang mungkin karena ternyata pertanyaanku bukan seputar pelajaran yang sedang berlangsung.

"Iya" jawabnya singkat

"Siapa penyanyi yang Rayhan suka?"

"Michael Jackson" jawabnya dengan mata berbinar senang.

(Bingo! seruku dalam hati)

"Wah, Ibu juga suka sama Michael Jackson! Rayhan suka lagu apa?"

Demikian lah diskusi kami lalu berlanjut selama beberapa saat membicarakan top hits nya Michael Jackson. Dia mengaku kalau dia mengoleksi CD Michael Jackson di rumah dan dia masih terheran-heran ternyata ada juga lagu Michael Jackson yang aku sebutkan yang dia belum tau.

Sejak itu dia mulai menaruh perhatian pada pelajaran Bahasa Inggris yang aku ajarkan [Thanks to Michael Jackson!]. Surprisingly, pengetahuan kosa-kata Bahasa Inggris-nya justru cukup baik. Nilai rata-rata untuk tugas-tugas yang dia selesaikan selalu berada di urutan ke-2 atau ke-3 setelah anak-anak lain yang memang (dikenal) lebih rajin di kelas itu.

Pernah suatu ketika aku memberikan pekerjaan rumah berupa 1 lembar kertas A4 yang tugas di dalamnya terbagi ke dalam 3 bagian. Aku menginstruksikan kepada semua anak untuk hanya mengerjakan bagian pertama saja. Tapi ketika tiba waktunya tugas tersebut dikumpulkan Rayhan menyelesaikan seluruh bagian dari satu sampai tiga, komplit dan benar semua! Ketika ujian dia memperoleh nilai 80, sementara nilai tertinggi di kelas waktu itu adalah 95. Kalau melihat  hal ini siapa yang percaya kalau Rayhan sudah dicap sebagai anak paling bandel di kelas dan pernah divonis akan menjadi preman kalau sudah besar kelak?

Waktu bagi raport tiba. Aku hadir di sana karena berencana mengembalikan buku, kertas-kertas latihan serta hasil ujian Bahasa Inggris anak-anak kepada orang tuanya masing-masing. Aku pun lalu mengikuti acara bagi raport dengan khidmat. Di sebelahku duduk seorang Ibu yang kelihatan gelisah. Aku pikir, semua orang tua pasti akan merasa sedikit gelisah pada momen seperti ini. Setelah beberapa waktu duduk berdampingan denganku, si Ibu yang duduk di sebelah akhirnya bertanya,

"Bu, Ibu ini guru Bahasa Inggris ya?"

"Iya Bu, sebenarnya saya hanya membantu sementara saja sampai sekolah punya Guru Bahasa Inggris yang sebenarnya. Maaf, Ibu ini orangtua nya siapa ya?"

"Saya Ibu-nya Rayhan. Gimana Rayhan di kelas Bu?" tanya Ibunya Rayhan dengan nada khawatir (sepertinya sudah siap juga menerima laporan kalau anak-nya nakal di kelas)

"Oh, Rayhan bagus sekali Bahasa Inggris-nya Bu. Semua kertas latihan anak-anak dan hasil ujian sudah saya serahkan ke Wali Murid, nanti Ibu bisa lihat hasil kerjanya Rayhan. Dia pintar Bahasa Inggris-nya Bu, nilainya bagus-bagus," jawabku ringan.

Di luar ekspektasiku, tiba-tiba Ibu-nya Rayhan menangis. Betul-betul menangis dengan air mata mengalir deras yang berkali-kali dia usap dengan sapu tangannya. Aku merasa seolah-olah beku, kehilangan kemampuan untuk berkata-kata sekaligus bingung harus bereaksi seperti apa karena aku tidak bersiap untuk menerima reaksi seperti ini.

"Bu, makasih ya. Anak saya itu nakal. Semua orang bilang dia nakal. Laporan yang saya dapat dari sekolah juga bilang dia nakal. Saya gak nyangka kalau sama Ibu dia malah nggak nakal, malah Ibu bilang dia pintar. Makasih ya Bu" kata Ibu-nya Rayhan sambil menggenggam tanganku.

Pengalaman ini memberikan value yang sulit untuk aku deskripsikan namun sangat berarti bagiku. Tidak lama setelah mengalami kejadian yang sangat membekas di ingatan itu aku menerima terusan pesan dari seorang teman tentang tulisan Rhenald Kasali yang berjudul 'Encouragement' yang sudah lebih dulu aku post-kan ke blog ini dan bisa diakses di: http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/07/encouragement-by-rhenald-kasali.html

Rayhan dan Ibu-nya sudah memberikan pelajaran yang berarti bagiku tentang rasa percaya (trust) dan penghargaan (appreciation). Aku seharusnya berterima kasih kepada Rayhan karena dia sudah memberiku ruang untuk lebih dulu mempraktekkan sebagian kecil pesan Rhenald Kasali tentang Encouragement, sebelum membaca tulisan tentang Encouragement itu sendiri.

Belakangan aku tau bahwa Rayhan sudah tidak memiliki Ayah, Ayahnya meninggal sementara usianya masih kecil. Aku pikir mungkin ini pulalah yang menjadi pemicu sehingga Rayhan bertingkah seolah-olah dia membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui cara yang lebih baik untuk memperoleh pengakuan dan penghargaan. Dan sayangnya, sebagian besar orang dewasa di sekitarnya justru tidak dapat memahami apa yang dia rasakan dan apa yang sebenarnya dia butuhkan.

Sebenarnya dalam perjalanan pendek waktu yang sempat aku bagi bersama anak-anak Sekolah Dasar itu aku sebisa mungkin menyelipkan pelajaran tata krama (manner), minat membaca, mengembangkan kemampuan motorik, kemampuan berekspresi dan mengapresiasi. Sehingga aku juga menemukan beberapa anak unik lainnya di kelas yang sama. Sayangnya, waktu yang aku miliki untuk bersama mereka sangat sedikit dan aku juga tidak punya kemampuan untuk melakukan intervensi terlalu jauh terhadap sistem sekolah yang berlangsung.

*

Tadi malam aku baru menonton rekaman talk show terbaru Kick Andy melalui website Metro TV yang membahas tentang trend kehidupan seks anak dan remaja yang semakin mengerikan di Indonesia. Salah satu narasumber ahli yang dihadirkan adalah psikolog dan peneliti terkenal Indonesia, Ibu Elly Risman. Ada beberapa hal yang menjadi pelajaran dari tayangan itu dan kemudian mengingatkanku kepada Rayhan yaitu bahwa anak-anak membutuhkan pengakuan terutama dari orang-orang terdekatnya. Pendidikan anak seharusnya berkonsentrasi pada memberikan penghargaan terhadap pencapaian anak, seberapa pun kecilnya, ketimbang hanya berkutat pada mencari-cari kesalahan anak. Anak yang bermasalah atau mengakui bahwa dirinya bermasalah seharusnya dirangkul dan dibantu untuk menyelesaikan masalahnya bukannya dibenci, dijauhi atau direndahkan harga dirinya.

*

Di Inggris, aku mendapatkan pelajaran yang tidak kalah berharganya tentang pendidikan dasar. Pada suatu hari, di awal-awal mulai bersekolah di sini, anakku pulang sekolah sambil menangis, aku mengerti bahwa dia pasti mengalami kesulitan beradaptasi bukan hanya pada budaya tapi juga pada bahasa. Lalu kami di rumah mulai lebih menyemangatinya agar tetap mau bersekolah. Keesokan harinya dia pulang sekolah dengan kondisi happy, lalu aku tanya apa yang terjadi, ternyata dia senang bahwa tidak satu pun teman sekolahnya menyinggung tentang insiden dia menangis di sekolah kemarin. Dan ternyata situasi itu membuatnya lebih termotivasi dan bersemangat bersekolah,

"...ternyata anak-anak di sini tidak suka mengejek, Mama. Kalau di sekolah Abang dulu di Indonesia anak-anaknya suka mengejek. Kalau ada yang nangis kayak Abang kemarin pasti dia bakal terus-terusan diejek atau dipanggil bayi," ujarnya. Penjelasan yang sederhana, namun berdampak besar bagi seorang anak berusia delapan tahun!

Bisa dipahami bahwa memang begitulah cara kebanyakan kita di Indonesia dibesarkan. Bukan dengan pujian tapi dengan hinaan. Sehingga kita menjadi sulit mengkritik dengan hal-hal positif. Kritik bagi kita identik dengan mengumbar kesalahan dan keburukan saja, jarang ada yang mampu memberikan kritik secara berimbang (dan aku pikir, mungkin aku juga begitu!)

Semakin hari anakku semakin senang bersekolah di sini. Hampir setiap hari dia pulang dengan membawa penghargaan dalam berbagai bentuk, kadang-kadang berupa koin plastik berwarna-warni, kadang-kadang berupa stiker kecil bergambar atau bertulisan "well done!" atau "special award", bahkan pernah juga dia membawa pulang sertifikat penghargaan dari Kepala Sekolahnya karena menurut pihak sekolah dia pintar menulis atau membuat karangan. Belum lagi menurut anakku, guru-guru dan Kepala Sekolah suka memuji dengan melontarkan kata-kata "brilliant!" dan sejenisnya kepada para murid. Kenyataan ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi di sekolah-sekolah di Indonesia di mana anak biasa dibentak, dihukum dan ditakut-takuti.

Bukan hanya di sekolah, anak-anak di sini juga mendapatkan penghargaan di rumah sakit atau di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Misalnya anakku yang baru selesai divaksinasi melalui suntikan lalu diberikan hadiah stiker-stiker bergambar lucu bertulisan "I am protected from bugs" [yang kira-kira terjemahan literal-nya berarti: "aku terlindungi dari hama"] yang ditempelkan di baju atau jaketnya. Pernah juga suatu kali aku harus mengantarkan anakku untuk diambil contoh darahnya, setelah proses pengambilan darah selesai jaketnya lalu ditempeli stiker besar bertulisan "I have been very brave today!" [yang kira-kira terjemahan literal-nya berarti: "aku berani sekali hari ini"].

Pernah aku bertanya pada anakku apa tidak pernah ada yang dihukum di sekolahnya? Dia bilang ada, dan hukuman yang paling memalukan bagi mereka adalah "name on the board" alias "namanya ditulis di papan (khusus)" dan ini biasanya diberikan pada anak-anak yang suka mengganggu orang lain. Bentuk hukuman yang lain adalah "face the wall", untuk yang ini anak disuruh duduk di lantai aula (atau di sini disebut sebagai "hall") sambil menghadap ke dinding, hukuman yang satu ini 'derajat'-nya lebih tinggi daripada "name on the board" karena hanya diberlakukan pada anak yang sudah beberapa kali mendapatkan 'jatah' ditulis namanya di papan khusus itu. O iya, di sini di ruang-ruang kelas pun sebagian besar jam pelajaran berlangsung sambil anak-anak duduk 'lesehan' di lantai berkarpet sehingga suasananya lebih santai, sedangkan meja-kursi digunakan bila ada pelajaran di mana anak diharuskan menulis. Coba bandingkan hukuman "name on the board" itu dengan hukuman di mana anak dijemur di halaman sekolah di bawah terik matahari, ehm, yang jelas hukuman ala jemuran itu mungkin akan membuat warna kulit menjadi lebih 'eksotis', atau kalau beruntung, pihak sekolah terpaksa harus mengurusi anak yang pingsan karena sengatan matahari.

Beberapa artikel atau diskusi tentang pendidikan anak menyebutkan bahwa mendidik dan membangun disiplin pada anak bagaikan proses aksi-reaksi; sederhananya adalah bila kita ingin didengar maka kita harus mau mendengar, bila kita ingin dihargai maka kita harus mau pula menghargai. Lalu bagaimana para guru dan orang dewasa di negara kita mau menuntut untuk didengar dan dihargai bila tidak pernah mau belajar untuk mendengar dan menghargai?

Sheffield . 6 February 2011

Wednesday 2 February 2011

Perumahan Pasca Bencana

Topik ini mungkin sedikit usang kalau dikaitkan dengan bencana alam gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004 yang telah menyapu bersih kawasan pesisir Aceh dan membuat ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Namun mengingat kekerapan bencana di berbagai belahan dunia yang terus saja terjadi baik akibat pergerakan lempeng bumi maupun akibat perubahan iklim global, ada baiknya kalau topik ini saya tulis saja, mungkin bisa jadi pembelajaran bersama. Apalagi memang walaupun pernah terlibat dalam proses monitoring dan evaluasi upaya rekonstruksi perumahan pasca bencana di Aceh saya belum pernah sekalipun menuliskan opini pribadi saya tentang topik ini di blog.

Ada dua sudut pandang utama yang mendominasi ranah rekonstruksi perumahan dan permukiman di Aceh [dan Nias] pasca bencana 2004, yang pertama adalah 'jalur aman' yang sudah dikenal akrab terutama oleh pemerintah baik nasional maupun lokal yaitu pelaksanaan proyek perumahan berbasis tender dengan pelaksana konstruksi lapangan adalah kontraktor; yang kedua adalah jalur 'tidak umum' [bagi pemerintah] yang diusung oleh beberapa organisasi kemanusiaan termasuk UN Habitat yaitu proses perencanaan dan pelaksanaan yang dilakukan murni oleh masyarakat. Kedua jalur tersebut tentu memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Pelaksanaan rekonstruksi perumahan berbasis tender yang dilaksanakan oleh kontraktor memang memakan waktu dan proses yang relatif lebih pendek. Idealnya konstruksi keluaran proyek jenis ini akan lebih mudah dimonitor serta dievaluasi karena akan mudah menelusuri titik-titik kelemahan atau ketidaksempurnaan proyek berdasarkan dokumen perencanaan yang telah disiapkan oleh pihak penyedia proyek dan mudah pula mengejar pertanggungjawaban dari kontraktor pelaksana. Namun pada masa rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana di Aceh dan Nias, proyek jenis ini justru yang paling bermasalah dan banyak ditolak masyarakat dan berujung pada tingkat okupansi atau tingkat hunian pasca konstruksi yang sangat rendah (Hasil Survey UN Habitat-Unsyiah, 2006-2007). Banyak pihak yang menilai bahwa kurang berhasilnya proyek perumahan jalur tender ini dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya: lemahnya pengawasan oleh pihak pemberi pekerjaan (dalam hal ini sebagian besar proyek yang dinilai gagal adalah milik pemerintah melalui Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi/BRR); tidak memungkinkannya penerapan law enforcement karena kondisi darurat bencana; dominasi situasi sosial dan politik yang sulit pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berlangsung.

Pelaksanaan rekonstruksi perumahan berbasis masyarakat (atau sebagian orang menyebutnya juga sebagai konsep partisipatif) awalnya cenderung membuat masyarakat frustrasi karena memakan waktu yang panjang, mulai dari tahap perencanaan hingga konstruksi. Segala keputusan yang diambil berkaitan dengan perencanaan hingga pelaksanaan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama per kelompok masyarakat atau malah per kampung. Hal inilah yang membuat proses rekonstruksi jenis ini berjalan lambat. Kendala dalam situasi darurat bencana muncul berupa kesulitan dalam menemukan warga yang berhak atas bantuan rumah dan kesulitan mengumpulkan warga untuk melaksanakan proses musyawarah, karena sebagai respon natural manusia segera setelah bencana biasanya warga akan mengungsi ke luar dari wilayah perkampungan yang terkena bencana untuk beberapa saat lamanya. Namun pada saat proses konstruksi telah selesai masyarakat cenderung merasa lebih puas karena mereka merasa yakin akan kualitas konstruksi rumah yang dibangun. Hal ini terjadi sebagai dampak dari keterlibatan mereka sendiri sejak awal proyek dimulai hingga selesai.

Tapi bukan berarti dalam proyek berbasis masyarakat seperti ini 'kecolongan' di sana-sini tidak mungkin terjadi. Selain durasi yang panjang yang menuntut agar institusi pemberi bantuan memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan proyek jenis ini, proyek berbasis masyarakat juga menuntut organisasi pemberi bantuan agar lebih aktif dan sensitif dalam bekerja bersama-sama masyarakat. Aktif dalam artian memiliki energi untuk mengumpulkan warga yang akan dibantu, memberikan motivasi dan semangat, membekali masyarakat dengan pengetahuan akan standar konstruksi yang layak, membagi pengetahuan tentang manajemen proyek konstruksi serta tidak cepat menyerah menghadapi masyarakat yang masih berada dalam kondisi trauma dan depresi. Sensitif berarti jeli melihat bagaimana struktur sosial akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan keterlibatan di level warga serta jeli memastikan bahwa kebutuhan semua elemen masyarakat, terkait jenis kelamin dan usia, dapat dipenuhi oleh proyek yang dijalankan. Tanpa didampingi oleh organisasi pemberi bantuan dengan kru lapangan yang bermental aktif dan sensitif tersebut, maka 'kecolongan' mungkin saja terjadi di lapangan misalnya berupa bantuan rumah yang jatuh ke tangan yang salah, monopoli dan manipulasi material bangunan, kesalahan prosedur pembangunan sistem sanitasi yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan, dan lain sebagainya.

Durasi panjang, komitmen tinggi serta energi besar yang harus dicurahkan pada proyek rekonstruksi perumahan berbasis masyarakat ini yang kemudian membuatnya kurang diminati oleh institusi yang membutuhkan proyek yang cepat selesai (atau dituntut cepat selesai oleh donor?) terutama tidak diminati oleh lembaga pemerintah. Di sisi lain, tenaga ahli terkait juga tidak tersedia dalam jumlah memadai untuk memfasilitasi proyek jenis ini. Banyak ahli perencanaan dan arsitek terlibat dalam proyek perumahan pasca bencana namun sangat sedikit yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjalankan proyek perumahan berbasis masyarakat (Dercon & Kusumawijaya, 2007). Bahkan para perencana yang merupakan lulusan sekolah perencanaan yang berbasis social science pun mungkin akan sulit menerapkan ilmu perencanaan partisipatif jenis ini karena kondisi pembelajaran teori di ruang kelas seringkali hanya mengandung representasi kasus lapangan dalam porsi yang sangat sedikit. Saya pribadi pernah mengikuti mata kuliah perencanaan partisipatif namun dengan contoh kasus penerapan untuk kondisi 'normal' bukan untuk kondisi pasca bencana yang tentu memiliki karakter khusus yang membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.

Dalam sebuah proyek partisipatif, arsitek dan perencana harus cukup berjiwa besar untuk menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi masyarakat, bukan sebagai ahli. Karena dalam pembangunan partisipatif justru masyarakatlah yang menjadi ahli, mereka yang lebih tau apa yang mereka butuhkan dan seberapa besar kekuatan mereka untuk mengelola proyek tersebut. Hal-hal yang tidak dapat ditawar hanyalah yang menyangkut keamanan dan kelayakan, misalnya standar konstruksi yang aman terhadap resiko gempa bumi, lay out atau perletakan rumah di dalam tata ruang kampung yang akan berhubungan dengan keamanan dan akses terhadap bahaya kebakaran, standar sanitasi lingkungan dan sejenisnya. Untuk itu perencana dan arsitek membutuhkan kecakapan pendukung berupa kecerdasan berkomunikasi, kemampuan bernegosiasi dan mengatasi keluhan atau konflik, serta kemampuan mendelegasikan tugas merencana kepada masyarakat. Ketidakberhasilan seorang perencana atau arsitek berkomunikasi dengan masyarakat untuk menerapkan standar-standar kelayakan bangunan dan tata ruang akan bermuara pada ancaman bahaya lain bagi masyarakat di kemudian hari.

*
Masalah rekonstruksi perumahan pasca bencana di Aceh sempat menghadapi sejumlah tantangan di antaranya sebaran pengungsi yang tidak terkendali dan tidak teridentifikasi, sehingga menyulitkan proses verifikasi jumlah penerima bantuan perumahan. Belum lagi masalah penyewa yang juga kehilangan tempat tinggal dan harta benda namun tidak memiliki hak atas rumah yang ditempatinya pada saat bencana terjadi sehingga mereka kesulitan mengakses bantuan perumahan. Aceh, seperti halnya daerah lain di Indonesia, tidak memiliki basis data perumahan yang menyimpan data rumah dan pemilik rumah yang rinci di level permukiman atau kampung. Peta lokasi permukiman juga merupakan hal yang langka hingga pasca bencana 2004. Hal ini sangat menyulitkan proses validasi lahan dan batas-batas lahan dalam masa rekonstruksi.

Saya pernah bekerja magang di sebuah badan perencanaan kota di Inggris, tepatnya di North Tyneside City Council, Newcastle, di wilayah Utara Inggris. Waktu itu saya ditempatkan di bagian Development Control. Hal yang paling mengesankan bagi saya selain dari melihat betapa efektifnya sebuah Badan Perencanaan Kota (atau di Indonesia dikenal sebagai BAPPEDA Kota) bekerja mengatur lalu lintas aplikasi pengembangan wilayah kota dan bangunan, juga melihat bagaimana basis data perumahan dan permukiman mereka bekerja. Contoh sederhana adalah ketika saya ikut serta mengamati proses pemberian izin pengembangan sebuah rumah, si pemilik rumah mengajukan permohonan untuk menambah tinggi bangunan rumahnya setinggi satu lantai ke atas. Permohonan tersebut lalu diproses oleh bagian Development Control dengan melakukan pengecekan ke basis data digital (yang diakses melalui intranet) yang menyimpan data tipografi dan tinggi rata-rata rumah (dalam bentuk gambar) di kawasan di mana si pemohon tinggal. Bila tinggi bangunan yang akan ditambah dianggap akan mengganggu kenyamanan tetangga di sekitarnya, misalnya mengganggu pemandangan dan akses cahaya matahari, maka biasanya permohonan akan ditolak. Demikian pula bila desain bangunan yang diajukan dianggap tidak sesuai dengan tema lingkungan di sekitarnya, maka biasanya permohonan akan diminta untuk direvisi lalu diajukan ulang. Petugas di bagian Development Control ini juga biasanya akan menghubungi para tetangga di sekitar rumah pemohon, melalui surat cetak, surat elektronik (e-mail) dan telepon, untuk memastikan apakah para tetangga akan keberatan dengan permohonan tersebut atau tidak. Bila sebuah permohonan pengembangan telah disetujui pun biasanya para tetangga akan dihubungi untuk diberitahu bahwa akan ada proses konstruksi di lingkungan sekitar rumah mereka yang mungkin akan sedikit mengganggu kenyamanan mereka. Pada saat itu saya sempat berpikir, beginilah seharusnya cara pajak yang dibayarkan oleh warga kota bekerja.

Dengan basis data selengkap dan seakurat seperti yang dimiliki oleh North Tyneside City Council tentunya akan sangat memudahkan proses verifikasi dan validasi kepemilikan lahan bila dibutuhkan seperti pada kondisi pasca tsunami di Aceh tahun 2004.

*
Hal lain yang disesali banyak pihak dalam masa tanggap darurat bencana di Aceh adalah terlambatnya distribusi hunian sementara. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), atau sekarang dikenal sebagai UN Refugee Agency, adalah salah satu lembaga yang paling awal masuk ke Aceh dan membantu melindungi warga dengan mendistribusikan tenda. Sayangnya, tenda tidak bertahan lama untuk melindungi pengungsi terutama di bawah cuaca ekstrim dan panas menyengat di Aceh pasca tsunami 2004. Banyak pengungsi yang akhirnya memilih tinggal sementara di rumah kerabat, atau di penampungan umum lainnya di luar kampung aslinya. Hingga akhirnya pemerintah daerah membangunkan barak-barak pengungsian yang tersebar di banyak daerah di Aceh yang walaupun membantu memberikan perlindungan yang lebih layak bagi pengungsi dibandingkan tenda namun di sisi lain makin menyulitkan proses validasi dan verifikasi penduduk. International Federation of Red Crosses (IFRC) setelah satu hingga dua tahun pasca bencana akhirnya mendistribusikan rumah sementara sistem bongkar-pasang yang lebih layak tinggal dengan bahan baku impor yang bisa diandalkan untuk 'merumahkan' pengungsi kembali tepat ke tanahnya masing-masing. Namun inipun dianggap sangat terlambat mengingat sudah banyak rumah permanen terbangun dan banyak pula warga yang sudah 'menetap' di barak.

Rumah sementara (temporary shelter) yang didistribusikan oleh IFRC 
bagi korban bencana alam Aceh 2004

Masalah validasi lahan dan verifikasi penduduk menjadi sulit sekaligus penting pasca bencana Aceh karena yang terjadi di Aceh adalah bencana alam tsunami yang dampaknya terhadap batas lahan dan property mungkin berbeda dengan gempa bumi. Gempa bumi, tanpa diikuti dengan bencana sekundernya, walaupun mungkin beresiko merubuhkan bangunan namun tidak menyapu bersih batas-batas lahan dan seluruh property manusia. Namun tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 bahkan membuat banyak wilayah kembali menjadi nol, bersih tanpa struktur dan pepohonan, walau di sebagian tempat mungkin menyisakan puing-puing atau bekas-bekas bangunan. Kondisi ini, berdasarkan jumlah korbannya, direkam dunia sebagai salah satu peristiwa alam terburuk setelah letusan gempa bumi di Haiyuan, China, tahun 1920 (dari: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_natural_disasters_by_death_toll#Ten_deadliest_natural_disasters_of_the_past_century).

*
Tidak ada yang menginginkan hal seburuk tsunami 2004 terjadi lagi di mana pun di seluruh dunia ini. Namun untuk mencegah terjadinya kehilangan yang fatal maka kita harus mempersiapkan diri sejak dini. Dari sisi perencanaan, hal yang dapat dipelajari dan dijadikan sebagai salah satu acuan kesiapsiagaan bencana [bagi Aceh] adalah menjadikan perencanaan perumahan dan permukiman sebagai salah satu poin di antara elemen penting kesiapsiagaan bencana lainnya.

Perencanaan kesiapsiagaan bencana bagi sektor perumahan dan permukiman ini dapat meliputi:
  • Pembangunan basis data permukiman. Hingga saat ini masyarakat kita mengandalkan kepercayaan bahwa mereka memiliki hak atas sebidang tanah berdasarkan sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau dulunya dikenal sebagai Agraria, tapi di mana dan bagaimana mengakses basis data pertanahan tersebut hingga kini masih menjadi pertanyaan, terutama bagi saya pribadi, karena pasca bencana 2004 data BPN tersebut sama sekali tidak dapat difungsikan. Karena itulah menurut saya penting sekali untuk memulai membuat basis data permukiman yang lebih rinci serta di-update secara berkala.
  • Penetapan poin-poin pengungsian per permukiman untuk memudahkan pendataan pasca bencana serta memudahkan sesama warga untuk dapat saling menemukan kerabatnya; 
  • Pengaturan skema distribusi hunian sementara pasca bencana; 
  • Penetapan prosedur rekonstruksi perumahan dan permukiman pasca bencana, meliputi skema perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan. Dalam proses rekonstruksi perumahan di Aceh [dan Nias] pasca 2004, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak proyek yang terlaksana di bawah tekanan donor. Celakanya, kepentingan donor dengan kepentingan masyarakat penerima bantuan seringkali tidak berjalan beriringan karena adanya perbedaan jarak, kultur dan cara pandang. Untuk itu sebaiknya pemerintah mulai memikirkan strategi untuk melepaskan ketergantungan pada donor (bila memang memungkinkan), bila bencana alam lain menghampiri di kemudian hari, sehingga rekonstruksi pasca bencana dapat berjalan sesuai konteks lokal dan lebih bernilai berkelanjutan.
Kesiapsiagaan ini tentunya perlu mengikutsertakan upaya preventif bagi terjadinya resiko bencana, misalnya melalui perencanaan, edukasi, pengawasan dan penegakan hukum yang memadai bagi perkembangan tata ruang permukiman dan struktur fisik rumah dan perumahan.

Sangat disayangkan bahwa pasca bencana 2004, di Kota Banda Aceh masih banyak permukiman penduduk yang tumbuh secara organik tanpa mempertimbangkan faktor keamanan bersama. Atap antara satu rumah dengan rumah lain saling bersinggungan yang dapat meningkatkan resiko penyebaran api bila terjadi kebakaran, atau resiko 'bertubrukan' bila terjadi gempa bumi. Orientasi antar rumah tidak direncanakan dengan baik sehingga masih dapat ditemui sebuah rumah dengan pintu depan menghadap tepat ke bagian belakang rumah lainnya dengan jarak sirkulasi yang sangat minim pula, hal ini tentu membahayakan dan menyulitkan untuk proses evakuasi bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Perkembangan permukiman secara organik seperti ini bila tidak dikontrol akan memunculkan jalur-jalur buntu dan ruang-ruang 'mati' yang baru. Padahal ketika tsunami 2004 terjadi banyak warga yang mengakui bahwa jalur buntu mengakibatkan banyak orang terperangkap ketika akan menyelamatkan diri, dan akhirnya menjadi korban bencana. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana 2004 di beberapa wilayah permukiman sudah mengupayakan eliminasi terhadap jalur-jalur buntu melalui tahapan konsolidasi lahan bersama warga, namun tanpa dukungan peraturan dan pengawasan dari pemerintah daerah saya khawatir jalur buntu dan 'ruang mati' baru akan bermunculan kembali dan mengancam keselamatan masyarakat di kemudian hari.

Tulisan terkait topik ini dapat dibaca di:
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2011/01/fakta-penting-gempa-bumi.html

Sheffield . 2 February 2011

Tuesday 1 February 2011

Facebook Frenzy

Facebook Frenzy, bila diartikan secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia (aksen Banda Aceh yang huruf-nya ditebal-kan) akan menjadi: [ter] Gila [gila] [akan] Facebook
:))

Seharusnya tulisan ini sudah saya upload sejak pertengahan tahun 2009, ketika saya yang waktu itu juga berada di Sheffield melihat kecenderungan meningkatnya penggunaan facebook di kalangan teman-teman saya di Banda Aceh. Saya dan suami, yang sudah bergabung dengan kerajaan facebook sejak tahun 2007, pada tahun 2009 itu sering bertukar argumen tentang apa hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di facebook. Saya yang mungkin waktu itu sangat didominasi oleh otak kiri, banyak memikirkan tentang resiko, privasi, dan sebagainya, yang oleh suami kemudian diterjemahkan bahwa saya terlalu parno alias paranoid.

Draft tulisan ini sudah ada di sektor arsip-nya Equilibrium sejak 2009, namun saya butuh pembuktian dan studi kasus sebelum berani bergumam "voila!" bahwa saya telah menemukan pembenaran terhadap kegelisahan saya. 

Sudah banyak kasus kriminal yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar terkait dengan jejaring dan privasi di facebook, umumnya menimpa anak remaja. Sudah beberapa anak remaja 'diculik' atau 'dilarikan' dari rumah oleh orang yang baru dikenalnya di facebook. Facebook juga bisa berdampak pada ranah profesi atau pekerjaan, di USA seorang Doktor (bukan Dokter) yang bekerja sebagai supervisor program matematika dan sains di sebuah High School dengan gaji sekitar USD92.000 per tahun terpaksa harus melepaskan posisi pekerjaannya gara-gara 'salah' update status facebook (baca lengkapnya di: http://www.aolnews.com/2010/08/19/teacher-quits-after-facebook-posts-diss-parents-kids/).

Saya pribadi melihat facebook ibarat rumah tanpa pagar, semua orang bisa dengan leluasa melihat isi pekarangan kita dan hanya kita sendiri yang bisa membatasi fitur apa yang ingin kita tampilkan di pekarangan tersebut sebagai representasi diri kita. Memiliki rumah tanpa pagar bukan berarti lalu sembarang orang bisa dengan leluasa pula mengakses isi rumah kita kan? Sebagian orang mungkin akan dengan senang hati berbagi apa saja yang dia miliki untuk ikut dimiliki pula oleh publik: pertemanan sosialnya, gaya hidupnya, aktifitasnya, keluarganya, dan lain sebagainya. Kalau sempat menonton film 'The Social Network' kita akan melihat bahwa ini pula yang menjadi target utama Mark Zuckerberg saat awal membangun facebook,

"...orang akan dengan suka rela berbagi 'bio' (informasi pribadi) dengan orang-orang yang dikenalnya"

Tapi sayangnya, kita tidak hidup di dunia yang penuh dengan orang-orang baik yang tidak suka mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Maka mulailah dengan hanya menambah daftar teman dengan orang-orang yang benar-benar kita kenal, tingkatkan kewaspadaan, lalu mari pelajari bersama-sama apa yang saya temukan di internet tentang apa yang sebaiknya tidak kita lakukan di facebook.

Sebuah artikel di Yahoo News memfokuskan bahasannya pada tingkat keamanan account yang kita miliki. Beberapa hal yang mereka rekomendasikan untuk dilakukan para pemilik account facebook adalah: segera merubah pengaturan standard (default setting) yang kita peroleh sebagai setting asli facebook ketika kita membuka account di facebook. Pertimbangkan apakah kita memang ingin agar bisa 'ditemukan' oleh orang lain melalui search engine atau tidak. Sebaiknya jangan berikan nomor telepon pribadi, alamat lengkap, nomor rekening bank kepada facebook dan jangan pula memasukkan data-data tersebut yang merupakan milik pasangan atau orang tua kita ke facebook. Pertimbangkan pula untuk tidak memasukkan tanggal lahir yang akurat ke facebook, terutama bagi yang berusia remaja, karena ini akan meningkatkan resiko kriminalisasi terhadap diri si pemilik account.

Yang paling menarik dari artikel di Yahoo News yang ditulis oleh Stuart Miles tentang aplikasi yang banyak beredar di facebook, misalnya games, kuis, atau aplikasi 'top followers' dan sejenisnya, menurut Stuart Miles sebaiknya jangan membiarkan aplikasi ini menjadi dormant atau tidak tergunakan di profil kita karena tanpa kita sadari aplikasi-aplikasi tersebut bekerja untuk mengumpulkan data dari profil kita. Saya cukup kaget ketika membaca tulisan Stuart Miles tersebut lalu buru-buru mengecek sejumlah aplikasi di account facebook saya yang sudah lama tidak pernah saya gunakan, ternyata benar, ketika pertama kali kita akan menggunakan aplikasi biasanya akan muncul permintaan bahwa si aplikasi diperbolehkan untuk mengakses data dan profil kita. Sejumlah aktifasi yang kita lakukan ketika memproses permintaan si aplikasi ini adalah sebagai berikut:
  • Access my basic information. Includes name, profile picture, gender, networks, user ID, list of friends and any other information I've shared with everyone. Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses informasi standard yang kita miliki berikut jejaring sosial dan pertemanan kita serta berbagi informasi lainnya yang kita izinkan (ke facebook) untuk di-share ke jaringan facebook seluas-luasnya.
  • Access my profile information. Likes, music, TV, movies, books, quotes, About me, Activities (and many more). Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses aktifitas, hobi dan hal-hal yang kita sukai.
  • Access my contact information. Online presence. Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses keberadaan kita bila sedang online di facebook.
  • Access my family & relationships. Significant other and relationship details and Family members and relationship status. Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses info tentang pasangan kita, status hubungan dengan pasangan, anggota keluarga beserta hubungan si anggota keluarga dengan pasangannya.
  • Access my photos and videos. Photos uploaded by me, Videos uploaded by me and Photos and videos of me. Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses foto-foto dan video yang kita upload atau yang di-upload oleh orang lain yang kita ditandai atau di-tag di dalamnya.
  • Access my friends' information. Birthdays, Religious and political views, Family members (and many more). Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses segala informasi tentang TEMAN kita!
  • Access my data any time. Access my data when I'm not using the application. Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses data yang kita miliki bahkan ketika kita TIDAK sedang menggunakan aplikasi tersebut!
  • Access posts in my News Feed . Artinya kita mengizinkan si aplikasi untuk mengakses segala hal yang di-update melalui News Feed kita (mohon maaf saya tidak tau apakah facebook ber-Bahasa Indonesia mengganti kata-kata News Feed dengan istilah lain) yang biasanya berisikan update status teman-teman share berita, tag foto dan lain-lain.
Memang tidak semua aplikasi secara baku mengakses ke-delapan hal di atas, ada juga aplikasi yang tidak mengakses dua poin terakhir yang saya sebutkan tadi. Tapi coba lihat bagaimana si aplikasi itu memiliki kemungkinan untuk bisa mengakses data orang-orang terdekat kita melalui account kita tanpa kita sadari.
Menghapus aplikasi yang tidak tergunakan bisa dilakukan melalui pengaturan 'Privacy settings' > 'Apps and websites' > 'Edit your settings'.

Hal lain yang direkomendasikan untuk tidak dilakukan di facebook adalah mempublikasikan status bahwa kita dan keluarga tengah pergi berlibur untuk sekian lama lalu meninggalkan rumah dalam kondisi kosong, karena ini jelas akan memancing para pengambil kesempatan untuk memanfaatkan situasi dan memasuki rumah kita tanpa izin.

Beberapa artikel juga menyebutkan bahwa meng-upload foto anak-anak ke facebook disertai dengan data nama, usia dan tempat dia bersekolah akan memberikan resiko kriminal bagi anak-anak. Mengingat berbagai kejadian kriminal yang telah terjadi terhadap anak dan remaja dengan perantara facebook, maka disarankan agar para orang tua bisa mendampingi dan memberikan pengetahuan yang memadai bagi anak-anaknya berkaitan dengan berbagai resiko melakukan kontak dengan dunia internet.

Cara lain untuk mengamankan account di facebook adalah dengan menggunakan password yang kuat dan berganti-ganti, persis seperti cara kita mengamankan nomor identifikasi personal (PIN) pada kartu ATM. Jangan gunakan password yang mengandung informasi yang mudah diakses melalui profil kita, misalnya menggunakan nama pasangan, menggunakan tanggal lahir, menggunakan nama anak, dan sejenisnya. Hindari pula membalas pesan melalui inbox yang diperoleh dari orang yang tidak dikenal, karena beberapa kasus menyebutkan bahwa membalas pesan dari orang yang tidak dikenal melalui inbox akan membuat account kita dapat dibajak oleh orang-orang tertentu.

Saya pribadi melihat bahwa facebook telah memberikan banyak kemudahan bagi saya untuk berbagi informasi kepada keluarga dan teman-teman di mana pun berada. Bagi mereka yang suka menulis opini, facebook memberikan fasilitas yang membuat opini seseorang dengan cepat bisa disebarluaskan dan segera pula dapat ditanggapi oleh jejaring pertemanan dan kerabatnya, hal ini berbeda dengan fasilitas blog yang (terasa) kurang interaktif seperti blogger yang saya gunakan saat ini. Namun kita harus mampu memanfaatkan layanan positif yang diberikan facebook secara bertanggung jawab, karena tanggung jawab untuk menjaga keamanan diri, keluarga dan teman-teman kita berada di tangan kita juga.