Thursday 19 November 2009

Pembangunan untuk Siapa?

Sekitar dua minggu yang lalu, tepatnya antara 5-9 November 2009, saya dan 9 orang teman tim training Climate Change & Poverty yang diselenggarakan oleh International Centre for Aceh & Indian Ocean Studies (ICAIOS), didampingi oleh dua orang supervisor yang masing-masing adalah ahli ekonomi lingkungan dan ahli biologi kelautan, berkunjung ke Pulau Weh. Pulau Weh adalah pulau yang berada pada ujung paling Barat Indonesia. Di pulau yang beribukotakan Sabang ini bahkan terdapat tugu 0 (nol) kilometer yang pengukuran & penetapannya melibatkan Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) dengan prasasti yang ditandatangani oleh Prof. BJ Habibie pada tanggal 24 September 1997. Perjalanan ini merupakan bagian dari proses pembelajaran kami terhadap isu-isu seputar perubahan iklim dan kaitannya dengan kemiskinan.

Pengalaman yang paling membekas dalam ingatan saya adalah pengalaman kunjungan ke Kampung Krueng Raya. Sebuah perkampungan nelayan yang berada dalam wilayah Kota Sabang. Di kampung ini saya melihat perpaduan yang menarik antara isu sosio-ekonomi dengan bentang alam pesisir yang akrab dengan ancaman gelombang pasang dan angin kencang. Dalam jarak sekitar 500 meter dari bibir pantai kami melihat tanggul dengan konstruksi batu yang kelihatannya sudah berada pada tahap penyelesaian. Sekilas tentu saja proyek pembangunan tanggul tersebut terlihat wajar berada pada lingkungan pesisir demikian, terlebih lagi bila mengingat pasca-tsunami 2004 banyak sekali proyek-proyek fisik infrastruktur bencana yang berhubungan dengan laut di bangun di seluruh Aceh. Namun fakta mengejutkan kami peroleh dari warga yang tinggal di perkampungan tersebut. Mereka mengeluhkan kerusakan habitat pantai yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan tanggul tersebut yang berdampak terhadap perekonomian warga sekitar.

Tanggul laut yang baru dibangun tampak di kejauhan
(Photo credit: Iin RZ)

Beberapa orang warga yang kami temui menyebutkan bahwa sebelum proyek tersebut berjalan warga dengan mudah bisa mengumpulkan ikan-ikan kecil, kerang, dan kepiting di sekitar pantai dan kondisi air laut di perairan dangkal sangatlah jernih. Seorang Bapak menggambarkan tingkat kejernihan air pada saat sebelum dibangunnya tanggul sebagai berikut:

"...dulu kalau kita lemparkan batu ke dalam air itu, kita masih bisa melihat jelas di mana jatuhnya batu itu demikianlah jernihnya air sebelum dam (begitu warga menyebut tanggul) dibangun..."

Kondisi air di pantai saat ini sangatlah keruh dan berwarna kecoklatan serupa keruhnya air sungai di hilir bila terjadi hujan deras di wilayah hulu. Jangankan untuk melihat batu yang kita lemparkan ke dalam air, bahkan bila kita celupkan jari ke dalamnya saja kita tidak akan bisa melihat jari kita dari atas permukaan air.

Kondisi pantai pasca pembangunan tanggul laut
(Photo credit: Iin RZ)


Menurut warga, sejak pembangunan tanggul mereka tidak lagi bisa menemukan ikan kecil, kerang dan kepiting di laut dangkal di sekitar pantai. Selain mempengaruhi pendapatan tangkapan nelayan di sekitar pantai, tanggul yang dibangun juga tidak sedemikian rupa dirancang untuk kemudahan akses atau keluar-masuk perahu-perahu nelayan dari pantai ke laut dan sebaliknya. Warga menceritakan bahwa pernah ada perahu yang karam akibat kesulitan mengakses jalur keluar-masuk melalui tanggul tersebut.

Nelayan lokal mengalihfungsikan perahu dan mata pencahariannya
dari pencari ikan menjadi pengumpul batu
(Photo credit: Iin RZ)


Hal lain yang juga menyedihkan bagi saya adalah mengetahui bahwa hutan bakau yang baru saja dirintis kembali di sekitar pantai hasil kerja gotong-royong masyarakat dengan Dinas Perikanan dan Angkatan Laut juga ikut terancam kelanjutan hidupnya akibat tanggul tersebut. Menurut supervisor lapangan kami yang merupakan ahli biologi kelautan, habitat hutan bakau tersebut terganggu karena tanaman yang sedianya bertahan hidup dengan kondisi air yang secara berkala pasang & surut terpaksa harus menanggung situasi terendam air sepanjang waktu akibat pembangunan tanggul.

Hutan bakau yang terancam rusak akibat habitatnya diganggu
(Photo credit: Iin RZ)


Lalu di mana semua kekacauan ini bermula? Warga menyebutkan bahwa mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan tanggul tersebut. Tidak ada proses konsultasi di tingkat kampung untuk menjaring masukan sebelum terlaksananya proyek pembangunan tanggul tersebut. Ketika saya menanyakan kira-kira untuk tujuan apa tanggul tersebut dibangun, seorang Ibu dengan tegas menjawab:

"...dam itu dibangun supaya air pasang tidak masuk ke kampung. Tetapi kenyataannya setelah dam itu terbangun pun air masih bisa meluap ke kampung melalui alue (kanal) yang melintasi kampung... mungkin akan lebih baik bagi kami kalau batu-batu besar yang digunakan untuk membangun dam tersebut dibagikan ke warga untuk dijual lagi..."


Kanal (alue) yang melintasi perkampungan
(Photo credit: Iin RZ)


Ya, pasca tsunami 2004, banyak warga Kampung Krueng Raya yang beralih mata pencaharian sebagai pemecah dan pedagang batu pecahan yang dijual untuk kebutuhan konstruksi. Mereka menggali gunung batu yang merupakan dataran Pulau Klah yang berada di seberang perkampungan sebagai sumber batu pecahan. Untuk mencapai Pulau Klah dan mengangkut batu ke kampung, warga menggunakan sampan-sampan kecil. Menurut warga hal ini terpaksa dilakukan karena pasca tsunami banyak warga yang kehilangan perahu-perahu yang berukuran lebih besar yang dulunya bisa digunakan untuk mencari ikan ke perairan yang berada lebih jauh dari kampung. Dengan sampan kecil kemampuan mereka mencari ikan laut menjadi berkurang sementara tuntutan pasar akan kesediaan batu untuk konstruksi pada proyek-proyek rehabilitasi & rekonstruksi melonjak naik sehingga warga pun akhirnya banting stir dari ketergantungan penuh pada tangkapan laut kini menjadi 50-50 antara menangkap ikan dengan menggali batu.

Seorang warga sedang menurunkan batu yang dikumpulkan dari Pulau Klah
(Photo credit: Iin RZ)



Wajah kampung nelayan yang berangsur-angsur menjadi
kampung penghasil batu pecahan
(Photo credit: Iin RZ)


Melihat situasi tersebut, saya pikir warga kampung ini lebih membutuhkan pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan tanggul. Bayangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh tidak sensitif-nya pemerintah daerah terhadap kebutuhan pembangunan ekonomi tersebut, bukan hanya berwujud pada proyek tanggul salah kaprah yang merusak ekosistem pantai tapi juga ada resiko kerusakan lingkungan yang parah yang akan menimpa Pulau Klah akibat eksploitasi terus-menerus oleh masyarakat sekitar sebagai manifestasi tuntutan ekonomi. Herannya, begitu banyak lembaga asing baik donor maupun organisasi nirlaba yang giat menyuarakan pembangunan berbasis masyarakat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, namun masih saja aparat berwenang menganggap remeh hal tersebut seolah setiap pembangunan fisik tidak mutlak mempertimbangkan lanskap sosial dan lanskap lingkungan alam. Dugaan saya, proyek ini mungkin contoh lain dari proyek-proyek kejar tayang sebagaimana yang lazim dilakukan oleh pemerintah daerah menjelang akhir tahun anggaran.

Sayangnya waktu kunjungan lapangan yang kami miliki sangat singkat, sehingga kami tidak punya cukup waktu untuk berkunjung dan mendiskusikan hal ini dengan aparat terkait. Saya sangat ingin kembali ke Kampung Krueng Raya suatu waktu nanti, masih banyak pelajaran lapangan yang saya butuhkan di daerah ini.

No comments:

Post a Comment