Wednesday, 2 February 2011

Perumahan Pasca Bencana

Topik ini mungkin sedikit usang kalau dikaitkan dengan bencana alam gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004 yang telah menyapu bersih kawasan pesisir Aceh dan membuat ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Namun mengingat kekerapan bencana di berbagai belahan dunia yang terus saja terjadi baik akibat pergerakan lempeng bumi maupun akibat perubahan iklim global, ada baiknya kalau topik ini saya tulis saja, mungkin bisa jadi pembelajaran bersama. Apalagi memang walaupun pernah terlibat dalam proses monitoring dan evaluasi upaya rekonstruksi perumahan pasca bencana di Aceh saya belum pernah sekalipun menuliskan opini pribadi saya tentang topik ini di blog.

Ada dua sudut pandang utama yang mendominasi ranah rekonstruksi perumahan dan permukiman di Aceh [dan Nias] pasca bencana 2004, yang pertama adalah 'jalur aman' yang sudah dikenal akrab terutama oleh pemerintah baik nasional maupun lokal yaitu pelaksanaan proyek perumahan berbasis tender dengan pelaksana konstruksi lapangan adalah kontraktor; yang kedua adalah jalur 'tidak umum' [bagi pemerintah] yang diusung oleh beberapa organisasi kemanusiaan termasuk UN Habitat yaitu proses perencanaan dan pelaksanaan yang dilakukan murni oleh masyarakat. Kedua jalur tersebut tentu memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Pelaksanaan rekonstruksi perumahan berbasis tender yang dilaksanakan oleh kontraktor memang memakan waktu dan proses yang relatif lebih pendek. Idealnya konstruksi keluaran proyek jenis ini akan lebih mudah dimonitor serta dievaluasi karena akan mudah menelusuri titik-titik kelemahan atau ketidaksempurnaan proyek berdasarkan dokumen perencanaan yang telah disiapkan oleh pihak penyedia proyek dan mudah pula mengejar pertanggungjawaban dari kontraktor pelaksana. Namun pada masa rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana di Aceh dan Nias, proyek jenis ini justru yang paling bermasalah dan banyak ditolak masyarakat dan berujung pada tingkat okupansi atau tingkat hunian pasca konstruksi yang sangat rendah (Hasil Survey UN Habitat-Unsyiah, 2006-2007). Banyak pihak yang menilai bahwa kurang berhasilnya proyek perumahan jalur tender ini dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya: lemahnya pengawasan oleh pihak pemberi pekerjaan (dalam hal ini sebagian besar proyek yang dinilai gagal adalah milik pemerintah melalui Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi/BRR); tidak memungkinkannya penerapan law enforcement karena kondisi darurat bencana; dominasi situasi sosial dan politik yang sulit pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berlangsung.

Pelaksanaan rekonstruksi perumahan berbasis masyarakat (atau sebagian orang menyebutnya juga sebagai konsep partisipatif) awalnya cenderung membuat masyarakat frustrasi karena memakan waktu yang panjang, mulai dari tahap perencanaan hingga konstruksi. Segala keputusan yang diambil berkaitan dengan perencanaan hingga pelaksanaan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama per kelompok masyarakat atau malah per kampung. Hal inilah yang membuat proses rekonstruksi jenis ini berjalan lambat. Kendala dalam situasi darurat bencana muncul berupa kesulitan dalam menemukan warga yang berhak atas bantuan rumah dan kesulitan mengumpulkan warga untuk melaksanakan proses musyawarah, karena sebagai respon natural manusia segera setelah bencana biasanya warga akan mengungsi ke luar dari wilayah perkampungan yang terkena bencana untuk beberapa saat lamanya. Namun pada saat proses konstruksi telah selesai masyarakat cenderung merasa lebih puas karena mereka merasa yakin akan kualitas konstruksi rumah yang dibangun. Hal ini terjadi sebagai dampak dari keterlibatan mereka sendiri sejak awal proyek dimulai hingga selesai.

Tapi bukan berarti dalam proyek berbasis masyarakat seperti ini 'kecolongan' di sana-sini tidak mungkin terjadi. Selain durasi yang panjang yang menuntut agar institusi pemberi bantuan memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan proyek jenis ini, proyek berbasis masyarakat juga menuntut organisasi pemberi bantuan agar lebih aktif dan sensitif dalam bekerja bersama-sama masyarakat. Aktif dalam artian memiliki energi untuk mengumpulkan warga yang akan dibantu, memberikan motivasi dan semangat, membekali masyarakat dengan pengetahuan akan standar konstruksi yang layak, membagi pengetahuan tentang manajemen proyek konstruksi serta tidak cepat menyerah menghadapi masyarakat yang masih berada dalam kondisi trauma dan depresi. Sensitif berarti jeli melihat bagaimana struktur sosial akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan keterlibatan di level warga serta jeli memastikan bahwa kebutuhan semua elemen masyarakat, terkait jenis kelamin dan usia, dapat dipenuhi oleh proyek yang dijalankan. Tanpa didampingi oleh organisasi pemberi bantuan dengan kru lapangan yang bermental aktif dan sensitif tersebut, maka 'kecolongan' mungkin saja terjadi di lapangan misalnya berupa bantuan rumah yang jatuh ke tangan yang salah, monopoli dan manipulasi material bangunan, kesalahan prosedur pembangunan sistem sanitasi yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan, dan lain sebagainya.

Durasi panjang, komitmen tinggi serta energi besar yang harus dicurahkan pada proyek rekonstruksi perumahan berbasis masyarakat ini yang kemudian membuatnya kurang diminati oleh institusi yang membutuhkan proyek yang cepat selesai (atau dituntut cepat selesai oleh donor?) terutama tidak diminati oleh lembaga pemerintah. Di sisi lain, tenaga ahli terkait juga tidak tersedia dalam jumlah memadai untuk memfasilitasi proyek jenis ini. Banyak ahli perencanaan dan arsitek terlibat dalam proyek perumahan pasca bencana namun sangat sedikit yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjalankan proyek perumahan berbasis masyarakat (Dercon & Kusumawijaya, 2007). Bahkan para perencana yang merupakan lulusan sekolah perencanaan yang berbasis social science pun mungkin akan sulit menerapkan ilmu perencanaan partisipatif jenis ini karena kondisi pembelajaran teori di ruang kelas seringkali hanya mengandung representasi kasus lapangan dalam porsi yang sangat sedikit. Saya pribadi pernah mengikuti mata kuliah perencanaan partisipatif namun dengan contoh kasus penerapan untuk kondisi 'normal' bukan untuk kondisi pasca bencana yang tentu memiliki karakter khusus yang membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.

Dalam sebuah proyek partisipatif, arsitek dan perencana harus cukup berjiwa besar untuk menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi masyarakat, bukan sebagai ahli. Karena dalam pembangunan partisipatif justru masyarakatlah yang menjadi ahli, mereka yang lebih tau apa yang mereka butuhkan dan seberapa besar kekuatan mereka untuk mengelola proyek tersebut. Hal-hal yang tidak dapat ditawar hanyalah yang menyangkut keamanan dan kelayakan, misalnya standar konstruksi yang aman terhadap resiko gempa bumi, lay out atau perletakan rumah di dalam tata ruang kampung yang akan berhubungan dengan keamanan dan akses terhadap bahaya kebakaran, standar sanitasi lingkungan dan sejenisnya. Untuk itu perencana dan arsitek membutuhkan kecakapan pendukung berupa kecerdasan berkomunikasi, kemampuan bernegosiasi dan mengatasi keluhan atau konflik, serta kemampuan mendelegasikan tugas merencana kepada masyarakat. Ketidakberhasilan seorang perencana atau arsitek berkomunikasi dengan masyarakat untuk menerapkan standar-standar kelayakan bangunan dan tata ruang akan bermuara pada ancaman bahaya lain bagi masyarakat di kemudian hari.

*
Masalah rekonstruksi perumahan pasca bencana di Aceh sempat menghadapi sejumlah tantangan di antaranya sebaran pengungsi yang tidak terkendali dan tidak teridentifikasi, sehingga menyulitkan proses verifikasi jumlah penerima bantuan perumahan. Belum lagi masalah penyewa yang juga kehilangan tempat tinggal dan harta benda namun tidak memiliki hak atas rumah yang ditempatinya pada saat bencana terjadi sehingga mereka kesulitan mengakses bantuan perumahan. Aceh, seperti halnya daerah lain di Indonesia, tidak memiliki basis data perumahan yang menyimpan data rumah dan pemilik rumah yang rinci di level permukiman atau kampung. Peta lokasi permukiman juga merupakan hal yang langka hingga pasca bencana 2004. Hal ini sangat menyulitkan proses validasi lahan dan batas-batas lahan dalam masa rekonstruksi.

Saya pernah bekerja magang di sebuah badan perencanaan kota di Inggris, tepatnya di North Tyneside City Council, Newcastle, di wilayah Utara Inggris. Waktu itu saya ditempatkan di bagian Development Control. Hal yang paling mengesankan bagi saya selain dari melihat betapa efektifnya sebuah Badan Perencanaan Kota (atau di Indonesia dikenal sebagai BAPPEDA Kota) bekerja mengatur lalu lintas aplikasi pengembangan wilayah kota dan bangunan, juga melihat bagaimana basis data perumahan dan permukiman mereka bekerja. Contoh sederhana adalah ketika saya ikut serta mengamati proses pemberian izin pengembangan sebuah rumah, si pemilik rumah mengajukan permohonan untuk menambah tinggi bangunan rumahnya setinggi satu lantai ke atas. Permohonan tersebut lalu diproses oleh bagian Development Control dengan melakukan pengecekan ke basis data digital (yang diakses melalui intranet) yang menyimpan data tipografi dan tinggi rata-rata rumah (dalam bentuk gambar) di kawasan di mana si pemohon tinggal. Bila tinggi bangunan yang akan ditambah dianggap akan mengganggu kenyamanan tetangga di sekitarnya, misalnya mengganggu pemandangan dan akses cahaya matahari, maka biasanya permohonan akan ditolak. Demikian pula bila desain bangunan yang diajukan dianggap tidak sesuai dengan tema lingkungan di sekitarnya, maka biasanya permohonan akan diminta untuk direvisi lalu diajukan ulang. Petugas di bagian Development Control ini juga biasanya akan menghubungi para tetangga di sekitar rumah pemohon, melalui surat cetak, surat elektronik (e-mail) dan telepon, untuk memastikan apakah para tetangga akan keberatan dengan permohonan tersebut atau tidak. Bila sebuah permohonan pengembangan telah disetujui pun biasanya para tetangga akan dihubungi untuk diberitahu bahwa akan ada proses konstruksi di lingkungan sekitar rumah mereka yang mungkin akan sedikit mengganggu kenyamanan mereka. Pada saat itu saya sempat berpikir, beginilah seharusnya cara pajak yang dibayarkan oleh warga kota bekerja.

Dengan basis data selengkap dan seakurat seperti yang dimiliki oleh North Tyneside City Council tentunya akan sangat memudahkan proses verifikasi dan validasi kepemilikan lahan bila dibutuhkan seperti pada kondisi pasca tsunami di Aceh tahun 2004.

*
Hal lain yang disesali banyak pihak dalam masa tanggap darurat bencana di Aceh adalah terlambatnya distribusi hunian sementara. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), atau sekarang dikenal sebagai UN Refugee Agency, adalah salah satu lembaga yang paling awal masuk ke Aceh dan membantu melindungi warga dengan mendistribusikan tenda. Sayangnya, tenda tidak bertahan lama untuk melindungi pengungsi terutama di bawah cuaca ekstrim dan panas menyengat di Aceh pasca tsunami 2004. Banyak pengungsi yang akhirnya memilih tinggal sementara di rumah kerabat, atau di penampungan umum lainnya di luar kampung aslinya. Hingga akhirnya pemerintah daerah membangunkan barak-barak pengungsian yang tersebar di banyak daerah di Aceh yang walaupun membantu memberikan perlindungan yang lebih layak bagi pengungsi dibandingkan tenda namun di sisi lain makin menyulitkan proses validasi dan verifikasi penduduk. International Federation of Red Crosses (IFRC) setelah satu hingga dua tahun pasca bencana akhirnya mendistribusikan rumah sementara sistem bongkar-pasang yang lebih layak tinggal dengan bahan baku impor yang bisa diandalkan untuk 'merumahkan' pengungsi kembali tepat ke tanahnya masing-masing. Namun inipun dianggap sangat terlambat mengingat sudah banyak rumah permanen terbangun dan banyak pula warga yang sudah 'menetap' di barak.

Rumah sementara (temporary shelter) yang didistribusikan oleh IFRC 
bagi korban bencana alam Aceh 2004

Masalah validasi lahan dan verifikasi penduduk menjadi sulit sekaligus penting pasca bencana Aceh karena yang terjadi di Aceh adalah bencana alam tsunami yang dampaknya terhadap batas lahan dan property mungkin berbeda dengan gempa bumi. Gempa bumi, tanpa diikuti dengan bencana sekundernya, walaupun mungkin beresiko merubuhkan bangunan namun tidak menyapu bersih batas-batas lahan dan seluruh property manusia. Namun tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 bahkan membuat banyak wilayah kembali menjadi nol, bersih tanpa struktur dan pepohonan, walau di sebagian tempat mungkin menyisakan puing-puing atau bekas-bekas bangunan. Kondisi ini, berdasarkan jumlah korbannya, direkam dunia sebagai salah satu peristiwa alam terburuk setelah letusan gempa bumi di Haiyuan, China, tahun 1920 (dari: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_natural_disasters_by_death_toll#Ten_deadliest_natural_disasters_of_the_past_century).

*
Tidak ada yang menginginkan hal seburuk tsunami 2004 terjadi lagi di mana pun di seluruh dunia ini. Namun untuk mencegah terjadinya kehilangan yang fatal maka kita harus mempersiapkan diri sejak dini. Dari sisi perencanaan, hal yang dapat dipelajari dan dijadikan sebagai salah satu acuan kesiapsiagaan bencana [bagi Aceh] adalah menjadikan perencanaan perumahan dan permukiman sebagai salah satu poin di antara elemen penting kesiapsiagaan bencana lainnya.

Perencanaan kesiapsiagaan bencana bagi sektor perumahan dan permukiman ini dapat meliputi:
  • Pembangunan basis data permukiman. Hingga saat ini masyarakat kita mengandalkan kepercayaan bahwa mereka memiliki hak atas sebidang tanah berdasarkan sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau dulunya dikenal sebagai Agraria, tapi di mana dan bagaimana mengakses basis data pertanahan tersebut hingga kini masih menjadi pertanyaan, terutama bagi saya pribadi, karena pasca bencana 2004 data BPN tersebut sama sekali tidak dapat difungsikan. Karena itulah menurut saya penting sekali untuk memulai membuat basis data permukiman yang lebih rinci serta di-update secara berkala.
  • Penetapan poin-poin pengungsian per permukiman untuk memudahkan pendataan pasca bencana serta memudahkan sesama warga untuk dapat saling menemukan kerabatnya; 
  • Pengaturan skema distribusi hunian sementara pasca bencana; 
  • Penetapan prosedur rekonstruksi perumahan dan permukiman pasca bencana, meliputi skema perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan. Dalam proses rekonstruksi perumahan di Aceh [dan Nias] pasca 2004, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak proyek yang terlaksana di bawah tekanan donor. Celakanya, kepentingan donor dengan kepentingan masyarakat penerima bantuan seringkali tidak berjalan beriringan karena adanya perbedaan jarak, kultur dan cara pandang. Untuk itu sebaiknya pemerintah mulai memikirkan strategi untuk melepaskan ketergantungan pada donor (bila memang memungkinkan), bila bencana alam lain menghampiri di kemudian hari, sehingga rekonstruksi pasca bencana dapat berjalan sesuai konteks lokal dan lebih bernilai berkelanjutan.
Kesiapsiagaan ini tentunya perlu mengikutsertakan upaya preventif bagi terjadinya resiko bencana, misalnya melalui perencanaan, edukasi, pengawasan dan penegakan hukum yang memadai bagi perkembangan tata ruang permukiman dan struktur fisik rumah dan perumahan.

Sangat disayangkan bahwa pasca bencana 2004, di Kota Banda Aceh masih banyak permukiman penduduk yang tumbuh secara organik tanpa mempertimbangkan faktor keamanan bersama. Atap antara satu rumah dengan rumah lain saling bersinggungan yang dapat meningkatkan resiko penyebaran api bila terjadi kebakaran, atau resiko 'bertubrukan' bila terjadi gempa bumi. Orientasi antar rumah tidak direncanakan dengan baik sehingga masih dapat ditemui sebuah rumah dengan pintu depan menghadap tepat ke bagian belakang rumah lainnya dengan jarak sirkulasi yang sangat minim pula, hal ini tentu membahayakan dan menyulitkan untuk proses evakuasi bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Perkembangan permukiman secara organik seperti ini bila tidak dikontrol akan memunculkan jalur-jalur buntu dan ruang-ruang 'mati' yang baru. Padahal ketika tsunami 2004 terjadi banyak warga yang mengakui bahwa jalur buntu mengakibatkan banyak orang terperangkap ketika akan menyelamatkan diri, dan akhirnya menjadi korban bencana. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana 2004 di beberapa wilayah permukiman sudah mengupayakan eliminasi terhadap jalur-jalur buntu melalui tahapan konsolidasi lahan bersama warga, namun tanpa dukungan peraturan dan pengawasan dari pemerintah daerah saya khawatir jalur buntu dan 'ruang mati' baru akan bermunculan kembali dan mengancam keselamatan masyarakat di kemudian hari.

Tulisan terkait topik ini dapat dibaca di:
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2011/01/fakta-penting-gempa-bumi.html

Sheffield . 2 February 2011

No comments:

Post a Comment