Friday, 21 January 2011

Fakta Penting Gempa Bumi

Berikut adalah beberapa fakta penting Gempa Bumi yang saya sederhanakan dari sumber aslinya buku Environmental Hazards: Assessing Risks and Reducing Disaster yang ditulis oleh Keith Smith dan David N. Petley edisi revisi 2009 terbitan Routledge.

1. Gempa bumi adalah gerakan lapisan bumi yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga.

2. Walaupun terjadi secara tidak terduga namun distribusi gempa bumi tidaklah acak karena berkaitan dengan gerakan lempeng-lempeng di bawah permukaan bumi. Sekitar dua pertiga dari gempa bumi di dunia terjadi di wilayah cincin api Pasifik yang terkenal dengan sebutan The Pacific Ring of Fire.


Peta Cincin Api Pasifik



Formasi Lempeng Bumi


3. Komposisi material geologis lokal dan topografi (kontur) dari suatu wilayah di mana gempa bumi terjadi, dapat memodifikasi kekuatan dan dampak gempa. Misalnya lapisan bebatuan, karang, pasir, dan lainnya, mampu memunculkan dampak gempa yang berbeda-beda. Bila bebatuan dapat mereduksi kekuatan gempa, maka lapisan pasir yang bercampur air akan menghasilkan bahaya sekunder dari gempa.

4. Gempa dapat menghasilkan bahaya sekunder yang terkadang bahkan lebih dahsyat dampaknya daripada insiden gempa itu sendiri!

Bahaya sekunder yang dihasilkan oleh gempa bumi adalah:
  • Likuifaksi (Soil Liquefaction). Likuifaksi adalah sebuah fenomena di mana tanah (atau material lain terutama yang mengandung air) kehilangan daya dukungnya dan berubah sifat menjadi cair akibat gerakan kuat gempa dalam rentang waktu tertentu. Hal ini sangat berbahaya bila pada lokasi terjadinya likuifaksi berdiri bangunan yang dihuni manusia atau struktur fisik lainnya yang berhubungan langsung dengan manusia. Resiko likuifaksi dapat terjadi bila tanah tidak mengalami proses pemadatan sempurna atau tanah di mana bangunan atau struktur fisik didirikan memiliki kandungan pasir basah atau lumpur hingga kedalaman 10 meter yang tidak didukung dengan perlakuan konstruksi dan sistem pondasi yang memadai.


Dampak likuifaksi pada bangunan





Dampak likuifaksi pada bangunan

  • Longsor. Gerakan gempa juga mampu menghilangkan daya ikat atau rekat tanah dan bebatuan terutama yang berada pada kemiringan curam, misalnya lereng gunung dengan kemiringan 45 derajat. Pada kawasan pegunungan bersalju, gempa akan mengakibatkan longsoran salju yang dikenal dengan istilah snow avalanche.


Tanah Longsor akibat Gempa Bumi di Kobe, Jepang



Tanah Longsor akibat Gempa Bumi di Provinsi Sichuan, China



Longsor Salju akibat Gempa Bumi di Alaska tahun 1964

  • Tsunami. Istilah "tsunami" berasal dari dua kata dalam Bahasa Jepang, 'tsu' yang berarti 'pelabuhan' dan 'nami' yang berarti 'gelombang' atau 'laut'. Tsunami adalah gelombang air laut akibat aktifitas seismik. Gelombang tsunami berukuran tinggi melebihi kondisi normal dan bergerak dengan kecepatan tinggi pula sehingga memiliki daya musnah yang patut diwaspadai oleh mereka yang bermukim di wilayah pesisir. Tsunami di Samudra Hindia yang dipicu oleh gempa bumi Sumatra 2004 tercatat sebagai bencana alam paling dahsyat setidaknya dalam satu dekade terakhir.


Diagram Proses Tsunami akibat Patahan Lempeng Bumi

5. Gempa bumi menjadi berbahaya dan dianggap bencana bila terjadi pada lokasi yang dihuni manusia atau pada tempat-tempat di mana terdapat struktur penting penunjang hidup manusia. Walaupun gempa bumi merupakan bencana alam yang sulit diprediksi waktu dan lokasi terjadinya, namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak gempa bumi pada manusia, di antaranya:
  • Penguatan Bangunan dan Struktur Lingkungan
Perkembangan ilmu dan teknologi konstruksi saat ini telah memperkenalkan desain struktur serta material bangunan tahan gempa secara luas. Namun konstruksi tahan gempa ini membutuhkan penguatan secara legal untuk dapat diterapkan pada bangunan-bangunan di wilayah rawan gempa. Salah satu panduan konstruksi yang harusnya wajib diberlakukan oleh pemerintah lokal di daerah rawan gempa adalah Building Code yang memberikan acuan standar minimal konstruksi untuk mereduksi resiko kerusakan bangunan saat gempa terjadi.
Penguatan pada struktur lingkungan alam dibutuhkan misalnya di daerah lereng yang curam untuk mengurangi resiko longsor. Penguatan lereng dapat dilakukan melalui konstruksi dinding pendukung atau dapat juga dilakukan melalui modifikasi kontur lereng misalnya dengan tehnik 'cut and fill' sehingga lereng yang awalnya curam menjadi berbentuk undakan yang lebih landai.
  • Perencanaan Tata Guna Lahan
Pemetaan daerah patahan dan resiko untuk skala wilayah yang kecil, misalnya kota, membutuhkan dana yang besar namun layak untuk diupayakan. Peta patahan ini kemudian dapat menjadi acuan tata guna lahan untuk pengembangan wilayah tersebut. Perencanaan tata guna lahan berdasarkan peta resiko gempa akan meminimalkan resiko kerugian dan kehilangan sumber daya yang lebih besar di kemudian hari bila gempa terjadi. Distribusi fungsi ruang kota dapat dilakukan lebih rinci dengan menggunakan peta resiko gempa sebagai alat bantu, misalnya wilayah permukiman dan bisnis atau industri diletakkan pada wilayah yang relatif aman sementara lokasi-lokasi rawan gempa dapat digunakan untuk ruang-ruang terbuka yang dapat mendukung fungsi rekreasi, olah raga atau mungkin juga sebagai lokasi pengolahan sampah kota (dumping site).
  • Sistem Peringatan Dini
Sistem peringatan dini lebih difokuskan pada pengurangan resiko bahaya sekunder gempa, misalnya tsunami. Sejak tahun 1948 wilayah Samudra Pasifik telah dilengkapi dengan sistem informasi dan peringatan dini tsunami yang dikendalikan oleh The US National Oceanic and Atmospheric Administration dari Honolulu, Hawaii. Jepang kemudian mengembangkan sistem peringatan dini tsunami sendiri yang diterapkan sejak tahun 1952 dan diperbaharui pada tahun 1999 setelah gempa besar di Jepang tahun 1993.

Sistem peringatan dini tsunami di wilayah Indonesia baru dicanagkan sejak tahun 2005 dengan dukungan dari konferensi PBB pada Januri 2005 di Kobe, Jepang. Aktivasi peringatan dini tsunami baru dilaksanakan sekitar satu tahun kemudian yaitu tahun 2006 dengan dimotori oleh badan dunia UNESCO.

Namun hingga saat ini sistem peringatan dini ini masih dipertanyakan keakuratannya, mengingat pada tahun 2007 sejumlah sirine dari sistem peringatan dini tsunami di Aceh mengalami kesalahan operasional sehingga berbunyi tanpa terjadinya gempa. Pelajaran dari kejadian tersebut adalah bahwa pembangunan kesiapsiagaan bencana di level masyarakat jauh lebih penting untuk diutamakan dibandingkan instalasi teknologi mutakhir, terutama di wilayah rawan gempa di negara-negara berkembang.
  • Membangun Sistem dan Budaya Kesiapsiagaan Bencana
Membangun budaya hidup aman dan siap siaga terhadap bencana membutuhkan waktu yang panjang terutama bagi masyarakat yang belum pernah mengalami bencana. Namun pada masyarakat yang pernah mengalami bencana dan kehilangan sumber daya, kesiapsiagaan bencana akan lebih mudah disuarakan dan dikembangkan bersama-sama masyarakat terutama bila dilakukan beberapa saat setelah event bencana terjadi di mana masyarakat masih memiliki memori kolektif terhadap apa yang pernah terjadi.

Budaya hidup aman dan siap siaga terhadap bencana idealnya dimulai dari satuan masyarakat terkecil yaitu keluarga. Membiasakan setiap anggota keluarga terlibat dalam diskusi tentang kebencanaan dan kesiapsiagaan bencana akan mereduksi resiko pada saat bencana terjadi. Diskusi tentang kesiapsiagaan bencana di tingkat rumah-tangga dapat membahas tentang:

  • Rute evakuasi yang dapat dijangkau anak & anggota keluarga lainnya ketika berada di rumah, sekolah dan tempat kerja. Sekaligus menyepakati tempat berkumpul yang dapat dijangkau bersama bila kondisi darurat terjadi;
  • Bahan, perlengkapan dan peralatan yang mungkin akan dibutuhkan oleh anggota keluarga dalam situasi darurat;
  • Mempersiapkan nomor-nomor telepon yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat dan meletakkan nomor telepon tersebut selalu pada posisi yang mudah diakses oleh seluruh anggota keluarga;
  • Membiasakan hidup aman di dalam rumah, misalnya selalu mengecek kondisi kompor & gas, lampu, sambungan listrik, kondisi pintu dan jendela;
  • Mempersiapkan jalur keluar-masuk dalam jumlah yang memadai di rumah, sehingga pada kondisi darurat setiap orang memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri tanpa harus berdesak-desakan pada satu jalur saja;
  • Belajar dari pengalaman masyarakat Jepang. Pasca gempa bumi Kobe 1995 masyarakat Jepang menjadi lebih waspada mempersiapkan kebutuhan darurat di rumah meliputi hal-hal sederhana seperti menyediakan pluit (whistle) di tempat yang mudah dijangkau yang tujuannya adalah bila sewaktu-waktu ada yang terjebak di dalam reruntuhan rumah maka pluit tersebut akan menjadi penanda untuk panggilan evakuasi. Selain pluit, masyarakat Jepang kini juga sudah membiasakan untuk menyediakan alas kaki bersol tebal di tempat yang mudah dijangkau untuk menghindari kecelakaan kaki terkena pecahan benda tajam ketika akan menyelamatkan diri.
Di bawah ini adalah daftar evaluasi kesiapsiagaan bencana yang dapat menjadi acuan kesiapsiagaan di level perkotaan:

1. Pemeriksaan dan kontrol terhadap kondisi eksisting bangunan dan lingkungan terbangun lainnya
  • Pendataan terhadap bangunan yang beresiko bahaya bila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi
  • Memperkuat struktur fisik fasilitas-fasilitas pelayanan yang kondisinya kritis terhadap gempa bumi, misalnya melalui penambahan struktur dan mekanisme penguat bangunan atau lingkungan terbangun (retrofitting, bearing wall, etc.)
  • Mengurangi bahaya non struktural akibat gempa bumi misalnya melalui pengaturan perletakan (layout) bangunan, jarak antar bangunan, pengaturan ruang dalam dan elemen dekorasi, menyiapkan jalur keluar darurat, dan sebagainya
  • Mengatur dan mengontrol secara seksama distribusi dan penyimpanan material berbahaya
2. Perencanaan tanggap darurat bencana. Perencanaan tanggap darurat bencana difokuskan pada kondisi saat bencana terjadi.
  • Mengurai, mendeskripsikan dan menyebarluaskan bahaya dan resiko gempa
  • Merencanakan aksi tanggap darurat terhadap event gempa bumi dan resiko bahaya sekundernya
  • Mengupayakan sistem komunikasi yang dapat bertahan dalam kondisi darurat bencana gempa bumi
  • Meningkatkan kapasitas sistem pencarian & penyelamatan (search & rescue)
  • Merencanakan respons multijurisdiksi
  • Membentuk dan melatih organisasi atau badan tanggap darurat bencana
3. Menyusun rencana pengembangan wilayah yang tanggap resiko bencana
  • Mengumpulkan data kondisi tanah dan kondisi atau informasi geologis
  • Meng-update dan memperbaiki berbagai elemen keselamatan
  • Menerapkan 'Special Studies Zone Act' [http://en.wikipedia.org/wiki/Alquist_Priolo_Special_Studies_Zone_Act]
  • Membatasi pembangunan fisik di kawasan yang beresiko tinggi
  • Memperkuat review terhadap desain bangunan dan inspeksi bangunan (law enforcement)
  • Memperkuat pelayanan perbaikan fasilitas yang beresiko bahaya (retrofitting services, etc.)
4. Rencana pemulihan
  • Menerapkan prosedur untuk mengumpulkan data kerusakan
  • Merencanakan upaya inspeksi bangunan secara berkala untuk menemukan bangunan yang beresiko
  • Membuat rencana khusus bagi upaya pembersihan lahan dari sisa bangunan atau limbah akibat bencana
  • Membentuk program untuk pemulihan jangka pendek
  • Mempersiapkan rencana untuk pemulihan jangka panjang
5. Informasi publik, pendidikan dan riset
  • Bekerjasama dengan media lokal
  • Menghimbau persiapan kebencanaan di tingkat sekolah
  • Menghimbau persiapan kebencanaan di tingkat bisnis
  • Mempersiapkan kesiapsiagaan di level keluarga dan permukiman
  • Membuat rencana khusus kesiapsiagaan bagi para lanjut usia dan orang cacat
  • Memperkuat basis relawan (volunteer)
  • Mempersiapkan seluruh warga agar senantiasa memperbaharui informasi dan pengetahuan mengenai kebencanaan
Tulisan terkait topik ini dapat dibaca di: http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2011/02/perumahan-pasca-bencana.html

Sheffield . January 2011

    No comments:

    Post a Comment