Sunday, 6 February 2011

Budaya Mendidik

Namanya Rayhan, anak laki-laki berusia sekitar 8 tahunan. Perawakannya sedikit lebih besar dari kebanyakan teman sekelasnya dan dia segera menarik perhatianku karena wajah dan penampilannya yang tergolong menarik untuk anak seusianya. Rayhan adalah salah satu murid-ku di sebuah Sekolah Dasar di pinggiran Kota Banda Aceh di mana aku sempat berbagi sedikit waktu menjadi relawan mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris.

Menurut guru wali kelasnya Rayhan adalah anak yang bandel sehingga walaupun tubuhnya agak besar dia didudukkan di bangku barisan depan di dalam kelas. Pernah suatu ketika aku mendengar cerita dari teman sekelasnya bahwa Rayhan divonis oleh wali kelasnya kalau sudah besar akan menjadi preman karena kenakalannya mungkin sudah mencapai ambang batas kesabaran si guru.

Rayhan kecil kemudian menjadi tantangan juga buatku. Kali pertama aku masuk ke kelas itu kami hanya belajar lafal abjad dan angka, tidak ada latihan dalam bentuk tulisan hanya belajar mengucap dengan benar dan berulang-ulang sambil sesekali diselingi cerita. Di minggu kedua, aku mulai memberikan latihan menulis. Rayhan yang duduk di deretan depan dengan cepat tertangkap mata olehku bahwa sementara teman-temannya menulis dia malah sibuk mengganggu teman-teman di sekelilingnya. Aku datangi Rayhan ke bangkunya dan bertanya kenapa dia tidak menulis, dengan ringan dia menjawab bahwa dia tidak membawa buku tulis. Aku tidak kehilangan akal, aku mengambilkan Rayhan selembar kertas kosong lalu memintanya menulis di kertas itu. Ketika jam pelajaran selesai dan teman-temannya mulai mengumpulkan tulisan, kulihat Rayhan tidak juga beranjak dari bangkunya. Kembali aku datangi dia dan menanyakan hasil pekerjaannya, betapa terkejut sekaligus merasa geli melihat kertas yang aku berikan padanya sudah berubah menjadi pesawat kertas! Tapi aku tidak mempermasalahkan kertas yang sudah bertransformasi menjadi pesawat itu, aku hanya berpesan padanya bahwa lain kali dia sebaiknya membawa buku tulisnya agar bisa berlatih menulis seperti teman-temannya yang lain,

"...kalau Rayhan gak mau ngerjain latihan, nanti Ibu bingung mau kasih nilai apa buat raport Rayhan" begitu ujarku. Dan dia hanya diam saja.

Pertemuan ketiga. Sebelum pelajaran dimulai, ketika aku baru saja melangkahkan kaki ke dalam kelas, aku sempat mencuri dengar percakapan Rayhan bersama teman-temannya di bangku deretan depan, sekilas mereka sepertinya tengah mendiskusikan tentang Michael Jackson. Aku sempat melihat Rayhan memegang bungkus CD bergambar Michael Jackson. Lalu pelajaran pun dimulai. Lagi-lagi, Rayhan tidak terlihat berminat mengerjakan latihan yang kali ini aku berikan dalam bentuk lembaran kertas bergambar untuk diisi oleh anak-anak. Aku kembali mendatangi Rayhan ke bangkunya,

"Rayhan, suka musik ya?" tanyaku

Dia terlihat terkejut sekaligus senang mungkin karena ternyata pertanyaanku bukan seputar pelajaran yang sedang berlangsung.

"Iya" jawabnya singkat

"Siapa penyanyi yang Rayhan suka?"

"Michael Jackson" jawabnya dengan mata berbinar senang.

(Bingo! seruku dalam hati)

"Wah, Ibu juga suka sama Michael Jackson! Rayhan suka lagu apa?"

Demikian lah diskusi kami lalu berlanjut selama beberapa saat membicarakan top hits nya Michael Jackson. Dia mengaku kalau dia mengoleksi CD Michael Jackson di rumah dan dia masih terheran-heran ternyata ada juga lagu Michael Jackson yang aku sebutkan yang dia belum tau.

Sejak itu dia mulai menaruh perhatian pada pelajaran Bahasa Inggris yang aku ajarkan [Thanks to Michael Jackson!]. Surprisingly, pengetahuan kosa-kata Bahasa Inggris-nya justru cukup baik. Nilai rata-rata untuk tugas-tugas yang dia selesaikan selalu berada di urutan ke-2 atau ke-3 setelah anak-anak lain yang memang (dikenal) lebih rajin di kelas itu.

Pernah suatu ketika aku memberikan pekerjaan rumah berupa 1 lembar kertas A4 yang tugas di dalamnya terbagi ke dalam 3 bagian. Aku menginstruksikan kepada semua anak untuk hanya mengerjakan bagian pertama saja. Tapi ketika tiba waktunya tugas tersebut dikumpulkan Rayhan menyelesaikan seluruh bagian dari satu sampai tiga, komplit dan benar semua! Ketika ujian dia memperoleh nilai 80, sementara nilai tertinggi di kelas waktu itu adalah 95. Kalau melihat  hal ini siapa yang percaya kalau Rayhan sudah dicap sebagai anak paling bandel di kelas dan pernah divonis akan menjadi preman kalau sudah besar kelak?

Waktu bagi raport tiba. Aku hadir di sana karena berencana mengembalikan buku, kertas-kertas latihan serta hasil ujian Bahasa Inggris anak-anak kepada orang tuanya masing-masing. Aku pun lalu mengikuti acara bagi raport dengan khidmat. Di sebelahku duduk seorang Ibu yang kelihatan gelisah. Aku pikir, semua orang tua pasti akan merasa sedikit gelisah pada momen seperti ini. Setelah beberapa waktu duduk berdampingan denganku, si Ibu yang duduk di sebelah akhirnya bertanya,

"Bu, Ibu ini guru Bahasa Inggris ya?"

"Iya Bu, sebenarnya saya hanya membantu sementara saja sampai sekolah punya Guru Bahasa Inggris yang sebenarnya. Maaf, Ibu ini orangtua nya siapa ya?"

"Saya Ibu-nya Rayhan. Gimana Rayhan di kelas Bu?" tanya Ibunya Rayhan dengan nada khawatir (sepertinya sudah siap juga menerima laporan kalau anak-nya nakal di kelas)

"Oh, Rayhan bagus sekali Bahasa Inggris-nya Bu. Semua kertas latihan anak-anak dan hasil ujian sudah saya serahkan ke Wali Murid, nanti Ibu bisa lihat hasil kerjanya Rayhan. Dia pintar Bahasa Inggris-nya Bu, nilainya bagus-bagus," jawabku ringan.

Di luar ekspektasiku, tiba-tiba Ibu-nya Rayhan menangis. Betul-betul menangis dengan air mata mengalir deras yang berkali-kali dia usap dengan sapu tangannya. Aku merasa seolah-olah beku, kehilangan kemampuan untuk berkata-kata sekaligus bingung harus bereaksi seperti apa karena aku tidak bersiap untuk menerima reaksi seperti ini.

"Bu, makasih ya. Anak saya itu nakal. Semua orang bilang dia nakal. Laporan yang saya dapat dari sekolah juga bilang dia nakal. Saya gak nyangka kalau sama Ibu dia malah nggak nakal, malah Ibu bilang dia pintar. Makasih ya Bu" kata Ibu-nya Rayhan sambil menggenggam tanganku.

Pengalaman ini memberikan value yang sulit untuk aku deskripsikan namun sangat berarti bagiku. Tidak lama setelah mengalami kejadian yang sangat membekas di ingatan itu aku menerima terusan pesan dari seorang teman tentang tulisan Rhenald Kasali yang berjudul 'Encouragement' yang sudah lebih dulu aku post-kan ke blog ini dan bisa diakses di: http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/07/encouragement-by-rhenald-kasali.html

Rayhan dan Ibu-nya sudah memberikan pelajaran yang berarti bagiku tentang rasa percaya (trust) dan penghargaan (appreciation). Aku seharusnya berterima kasih kepada Rayhan karena dia sudah memberiku ruang untuk lebih dulu mempraktekkan sebagian kecil pesan Rhenald Kasali tentang Encouragement, sebelum membaca tulisan tentang Encouragement itu sendiri.

Belakangan aku tau bahwa Rayhan sudah tidak memiliki Ayah, Ayahnya meninggal sementara usianya masih kecil. Aku pikir mungkin ini pulalah yang menjadi pemicu sehingga Rayhan bertingkah seolah-olah dia membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui cara yang lebih baik untuk memperoleh pengakuan dan penghargaan. Dan sayangnya, sebagian besar orang dewasa di sekitarnya justru tidak dapat memahami apa yang dia rasakan dan apa yang sebenarnya dia butuhkan.

Sebenarnya dalam perjalanan pendek waktu yang sempat aku bagi bersama anak-anak Sekolah Dasar itu aku sebisa mungkin menyelipkan pelajaran tata krama (manner), minat membaca, mengembangkan kemampuan motorik, kemampuan berekspresi dan mengapresiasi. Sehingga aku juga menemukan beberapa anak unik lainnya di kelas yang sama. Sayangnya, waktu yang aku miliki untuk bersama mereka sangat sedikit dan aku juga tidak punya kemampuan untuk melakukan intervensi terlalu jauh terhadap sistem sekolah yang berlangsung.

*

Tadi malam aku baru menonton rekaman talk show terbaru Kick Andy melalui website Metro TV yang membahas tentang trend kehidupan seks anak dan remaja yang semakin mengerikan di Indonesia. Salah satu narasumber ahli yang dihadirkan adalah psikolog dan peneliti terkenal Indonesia, Ibu Elly Risman. Ada beberapa hal yang menjadi pelajaran dari tayangan itu dan kemudian mengingatkanku kepada Rayhan yaitu bahwa anak-anak membutuhkan pengakuan terutama dari orang-orang terdekatnya. Pendidikan anak seharusnya berkonsentrasi pada memberikan penghargaan terhadap pencapaian anak, seberapa pun kecilnya, ketimbang hanya berkutat pada mencari-cari kesalahan anak. Anak yang bermasalah atau mengakui bahwa dirinya bermasalah seharusnya dirangkul dan dibantu untuk menyelesaikan masalahnya bukannya dibenci, dijauhi atau direndahkan harga dirinya.

*

Di Inggris, aku mendapatkan pelajaran yang tidak kalah berharganya tentang pendidikan dasar. Pada suatu hari, di awal-awal mulai bersekolah di sini, anakku pulang sekolah sambil menangis, aku mengerti bahwa dia pasti mengalami kesulitan beradaptasi bukan hanya pada budaya tapi juga pada bahasa. Lalu kami di rumah mulai lebih menyemangatinya agar tetap mau bersekolah. Keesokan harinya dia pulang sekolah dengan kondisi happy, lalu aku tanya apa yang terjadi, ternyata dia senang bahwa tidak satu pun teman sekolahnya menyinggung tentang insiden dia menangis di sekolah kemarin. Dan ternyata situasi itu membuatnya lebih termotivasi dan bersemangat bersekolah,

"...ternyata anak-anak di sini tidak suka mengejek, Mama. Kalau di sekolah Abang dulu di Indonesia anak-anaknya suka mengejek. Kalau ada yang nangis kayak Abang kemarin pasti dia bakal terus-terusan diejek atau dipanggil bayi," ujarnya. Penjelasan yang sederhana, namun berdampak besar bagi seorang anak berusia delapan tahun!

Bisa dipahami bahwa memang begitulah cara kebanyakan kita di Indonesia dibesarkan. Bukan dengan pujian tapi dengan hinaan. Sehingga kita menjadi sulit mengkritik dengan hal-hal positif. Kritik bagi kita identik dengan mengumbar kesalahan dan keburukan saja, jarang ada yang mampu memberikan kritik secara berimbang (dan aku pikir, mungkin aku juga begitu!)

Semakin hari anakku semakin senang bersekolah di sini. Hampir setiap hari dia pulang dengan membawa penghargaan dalam berbagai bentuk, kadang-kadang berupa koin plastik berwarna-warni, kadang-kadang berupa stiker kecil bergambar atau bertulisan "well done!" atau "special award", bahkan pernah juga dia membawa pulang sertifikat penghargaan dari Kepala Sekolahnya karena menurut pihak sekolah dia pintar menulis atau membuat karangan. Belum lagi menurut anakku, guru-guru dan Kepala Sekolah suka memuji dengan melontarkan kata-kata "brilliant!" dan sejenisnya kepada para murid. Kenyataan ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi di sekolah-sekolah di Indonesia di mana anak biasa dibentak, dihukum dan ditakut-takuti.

Bukan hanya di sekolah, anak-anak di sini juga mendapatkan penghargaan di rumah sakit atau di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Misalnya anakku yang baru selesai divaksinasi melalui suntikan lalu diberikan hadiah stiker-stiker bergambar lucu bertulisan "I am protected from bugs" [yang kira-kira terjemahan literal-nya berarti: "aku terlindungi dari hama"] yang ditempelkan di baju atau jaketnya. Pernah juga suatu kali aku harus mengantarkan anakku untuk diambil contoh darahnya, setelah proses pengambilan darah selesai jaketnya lalu ditempeli stiker besar bertulisan "I have been very brave today!" [yang kira-kira terjemahan literal-nya berarti: "aku berani sekali hari ini"].

Pernah aku bertanya pada anakku apa tidak pernah ada yang dihukum di sekolahnya? Dia bilang ada, dan hukuman yang paling memalukan bagi mereka adalah "name on the board" alias "namanya ditulis di papan (khusus)" dan ini biasanya diberikan pada anak-anak yang suka mengganggu orang lain. Bentuk hukuman yang lain adalah "face the wall", untuk yang ini anak disuruh duduk di lantai aula (atau di sini disebut sebagai "hall") sambil menghadap ke dinding, hukuman yang satu ini 'derajat'-nya lebih tinggi daripada "name on the board" karena hanya diberlakukan pada anak yang sudah beberapa kali mendapatkan 'jatah' ditulis namanya di papan khusus itu. O iya, di sini di ruang-ruang kelas pun sebagian besar jam pelajaran berlangsung sambil anak-anak duduk 'lesehan' di lantai berkarpet sehingga suasananya lebih santai, sedangkan meja-kursi digunakan bila ada pelajaran di mana anak diharuskan menulis. Coba bandingkan hukuman "name on the board" itu dengan hukuman di mana anak dijemur di halaman sekolah di bawah terik matahari, ehm, yang jelas hukuman ala jemuran itu mungkin akan membuat warna kulit menjadi lebih 'eksotis', atau kalau beruntung, pihak sekolah terpaksa harus mengurusi anak yang pingsan karena sengatan matahari.

Beberapa artikel atau diskusi tentang pendidikan anak menyebutkan bahwa mendidik dan membangun disiplin pada anak bagaikan proses aksi-reaksi; sederhananya adalah bila kita ingin didengar maka kita harus mau mendengar, bila kita ingin dihargai maka kita harus mau pula menghargai. Lalu bagaimana para guru dan orang dewasa di negara kita mau menuntut untuk didengar dan dihargai bila tidak pernah mau belajar untuk mendengar dan menghargai?

Sheffield . 6 February 2011

5 comments:

  1. pengen punya ibu guru kayak bu Iin.:-*

    ReplyDelete
  2. setuju kak..:)
    hasya juga senang xx sekolah, sedih kalau sudah weekend. apresiasi dan 'so much fun' yg membuat anak2 disini senang sekolah sepertinya.
    i love school..katanya, emaknya: i love holiday, karena bisa istrahat dari ngantar anaknya sekolah;0

    ReplyDelete
  3. @Gel: hahaha.. yok kita sekolah SD lagi :D

    @Ina: setuju juga Na pas di bagian "I Love Holiday", karena pagi-pagi pas hari sekolah itu harus diakui agak sedikit 'hectic'.. hehehe..

    be blessed everyone :)

    ReplyDelete
  4. iiiiinnnnnnnn,sory baru bisa komen..diluar konten tulisan iin,aq mau ksh pujian utk iin...ternyata msh byk sisi iin y blm aq tau...keren x tulisannya iin..inspired me..not just me,everyone..bagi kita2 y punya anak "golden years" harus ektra memilih bahasa y tepat dan bperilaku y santun..anak2 kita menyerap smua apa y ditangkap dgn panca indra mereka..sambil mendidik anak,sambil kita terus memperbaiki diri..mdh2an generasi penerus kita nanti lbh baik dari kita,moralnya,mentalnya,pendidikannya,pokoknya smuanya...thanks ya iin..aq tunggu tulisan lainnya..salam utk abi d aqila.....(mamak daffa n raisa)

    ReplyDelete
  5. @Dedek: AMIN :)) thanks ya Dek, makasi udah bela2in mampir ke blog ini di sela-sela kesibukan yang super, makasi udah sempat2in nulis komen, dan makasi buat pujiannya juga.. mudah2an kondisi pendidikan dasar di Indonesia bisa terus lebih baik (that's my dream, our dream) dan semoga tulisan ini banyak manfaatnya buat orang lain juga.. :)

    ReplyDelete