1. Rotterdam - Belanda
Rotterdam menghasilkan total emisi karbon dioksida dan metan rata-rata 29,8 ton per warga per tahun yang mayoritas merupakan hasil dari aktifitas pelabuhan yang berupa gas buangan bahan bakar kapal dan industri.
Port of Rotterdam
(Image source: www.ordons.com via google)
2. Austin, Texas - Amerika Serikat
Austin berada di urutan kedua sebagai kota paling berpolusi dengan emisi karbon dan metan yang mencapai sekitar 24 ton per penduduk per tahunnya yang merupakan polusi yang dihasilkan oleh sektor konsumsi yaitu tingginya tingkat penggunaan kendaraan bermotor milik pribadi.
Austin, Texas - USA
(Image source: michaelpaynespictures.blogspot.com via google)
3. Denver, Colorado - Amerika Serikat
Denver menghasilkan emisi gas polutan sebanyak rata-rata 21,5 ton per warga per tahunnya yang diperoleh dari aktifitas harian warga kotanya. Jumlah ini merupakan dua kali lipat dari total emisi New York yang 'hanya' mencapai sekitar 10,5 ton per warga per tahun. Gas polutan di Kota Denver juga disumbang oleh beberapa pembangkit listrik yang masih menggunakan sumber tenaga dari bahan tambang batu bara.
Denver, Colorado - USA
(Image source: www.bylandwaterandair.com via google)
4. Washington DC - Amerika Serikat
DC berada di urutan keempat dengan total emisi CO2 dan metan mencapai sekitar hampir 20 ton per kapita per tahun yang sebagian besar merupakan emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Washington DC - USA
(Image source: kenlevine.blogspot.com via google)
Serupa dengan Denver dan DC, Minneapolis juga menghasilkan emisi karbon dan metan yang tinggi dari pembangkit listrik tenaga batu baranya dengan jumlah rata-rata sekitar 18 ton per penduduk per tahun.
Minneapolis, Minnesotta - USA
(Image source: www.aerialarchives.com via google)
Calgary berada di urutan keenam dengan jumlah emisi yang menyerupai Minneapolis yaitu sekitar 18 ton per orang per tahun yang juga merupakan buangan dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Calgary - Canada
(Image source: www.canadianhomestayagency.com via google)
7. Menlo Park, California - Amerika Serikat
Kendati memiliki sumber pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan Denver, DC dan Minneapolis, namun Menlo Park/California menduduki peringkat 7 dunia sebagai kota pensuplai karbon dan metan terbesar dengan jumlah rata-rata 16 ton per orang per tahun yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar minyak pada kendaraan bermotor.
Menlo Park, California - USA
(Image source: www.cswst2.com via google)
8. Dallas, Texas - Amerika Serikat
Penduduk Dallas menghasilkan sedikitnya 15 ton karbon dan metan per tahunnya.
Dallas, Texas - USA
(Image source: www.skyscraper.com via google)
9. Stuttgart - Jerman
Stuttgart mengemisi sekitar 12 ton karbon dan metan per penduduk per tahunnya sebagai hasil aktifitas industri kota.
Stuttgart - Germany
(Image source: www.flickr.com via google)
Studi di atas mengukur tingkat emisi karbon rata-rata yang dihasilkan dari aktifitas produksi dan konsumsi. Ada beberapa kota yang memiliki emisi tinggi sebagai hasil aktifitas industri, seperti misalnya Shanghai dan Beijing, namun konsumsi energi oleh warga kota yang efisien menghasilkan emisi karbon dan metan yang sangat rendah. Hal ini mampu membuat jumlah total emisi gas polutan di Shanghai dan Beijing lebih rendah dibandingkan kota lainnya yang menjadi objek pada studi ini.
Para peneliti menyebutkan bahwa desain dan tata letak (layout) kota memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat emisi karbon yang dihasilkan warga kotanya. Kota dengan sebaran wilayah permukiman yang melebar membuat tingkat efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor sangat rendah, penduduk dengan jenis sebaran kota jenis ini cenderung menggantungkan pergerakan dan transportasinya kepada kendaraan bermotor pribadi. Sedangkan kota yang compact dengan tingkat kepadatan tinggi yang mengharuskan warga beraktifitas dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan umum akan mampu membantu menekan laju emisi gas polutan dari sektor konsumsi.
Hal ini pula yang membuat tingkat emisi karbon dan metan kota-kota di Eropa cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Amerika Serikat. Kota-kota di Eropa cenderung bersifat compact, dengan kepadatan tinggi dan sebaran kota (urban sprawl) yang terbatas. Sedangkan kota-kota di Amerika Serikat cenderung memiliki sebaran kota melebar ke arah suburban dengan kawasan permukiman baru yang dikembangkan bagi warga kota yang cenderung tidak menyukai tinggal di kawasan pusat perkotaan yang sibuk, dengan resiko perjalanan menuju lokasi bekerja akan memakan waktu lebih panjang dan konsumsi energi lebih tinggi serta emisi gas polutan lebih besar pula.
Dan Hoornweg, Urban Specialist yang terlibat dalam studi ini juga menyebutkan manfaat lain dari desain kota yang compact adalah bahwa bila seseorang dapat mencapai satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu yang lebih singkat selain dapat mendukung efisiensi waktu juga akan mampu meningkatkan tingkat kualitas hidup (the quality of life) orang tersebut. [Hasil studi lengkapnya akan di-publish di jurnal Environment & Urbanization tahun ini]
Dari studi di atas kita dapat melihat bahwa untuk menekan laju emisi karbon dan metan ke udara yang dapat membentuk dampak rumah kaca bagi bumi (yang mengakibatkan pemanasan global!), dibutuhkan berbagai upaya meliputi: desain ruang kota dan perencanaan tata guna lahan yang tepat; penggunaan sumber tenaga listrik ramah lingkungan (seperti sumber hydro, solar dan angin); efisiensi penggunaan listrik pada bangunan dan rumah tinggal; serta efisiensi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Selain itu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengimbangi emisi karbon, menyerap polutan dan debu sebagai hasil aktifitas masyarakat modern, serta mengurangi efek urban heat island akibat konsentrasi pembangunan dan kegiatan manusia di wilayah perkotaan adalah dengan bertanam [lebih banyak] pohon! Informasi lain terkait pengaruh pohon terhadap gas polutan bisa dibaca di:
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/bukan-sekedar-pohon.html
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/trembesi.html
Hasil penelitian Dan Hoornweg dan timnya menyisakan pertanyaan lain bagi saya. Melihat bahwa tidak satupun dari kota-kota yang disebutkan oleh Hoornweg [dan tim penelitiannya] merupakan kota yang berada di kawasan negara berkembang (developing countries), lalu kenapa gembar-gembor konsentrasi pengurangan emisi malah (seolah-olah) dilimpahkan menjadi tanggung jawab negara berkembang?
USA pernah berkeras tidak mau menandatangani perjanjian Kyoto kalau negara-negara berkembang tidak 'dipaksa' membatasi emisi karbon-nya (baca di: http://www.americans-world.org/digest/global_issues/global_warming/gw3.cfm).
Lalu dibentuk program-program khusus untuk negara berkembang, misalnya seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang bahkan UN membentuk projek khusus untuk menangani isu ini yaitu UN REDD Programme [http://www.un-redd.org/]. Dalam program seperti REDD ini negara-negara berkembang diberikan insentif untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutannya lalu implementasi dan progresnya dimonitor oleh negara-negara maju (terutama oleh negara pemberi dana). Keterlibatan Indonesia di REDD bisa dibaca di: http://acehclimatechange.org/2010/06/30/dana-perubahan-iklim-norwegia-gratis/ dan http://acehclimatechange.org/2010/07/27/badan-pengurangan-emisi-segera-dibentuk/
Bagaimana negara besar seperti USA, yang justru merupakan penyumbang terbesar emisi karbon dan metan (berdasarkan penelitian di atas) mampu 'mengatur' warga negaranya agar merubah gaya hidup penyumbang polusi menjadi lebih bertanggung jawab terhadap seluruh warga dunia lainnya? Lalu bagaimana kita sebagai warga negara berkembang bisa ikut mengawasi progres yang mereka lakukan untuk secara signifikan menekan pengurangan emisi dari negaranya? Mudah-mudahan saya bisa segera memperoleh jawaban untuk kelanjutan tulisan ini :)
Sheffield . 19 February 2011
Artikel Rujukan:Hal ini pula yang membuat tingkat emisi karbon dan metan kota-kota di Eropa cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Amerika Serikat. Kota-kota di Eropa cenderung bersifat compact, dengan kepadatan tinggi dan sebaran kota (urban sprawl) yang terbatas. Sedangkan kota-kota di Amerika Serikat cenderung memiliki sebaran kota melebar ke arah suburban dengan kawasan permukiman baru yang dikembangkan bagi warga kota yang cenderung tidak menyukai tinggal di kawasan pusat perkotaan yang sibuk, dengan resiko perjalanan menuju lokasi bekerja akan memakan waktu lebih panjang dan konsumsi energi lebih tinggi serta emisi gas polutan lebih besar pula.
Dan Hoornweg, Urban Specialist yang terlibat dalam studi ini juga menyebutkan manfaat lain dari desain kota yang compact adalah bahwa bila seseorang dapat mencapai satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu yang lebih singkat selain dapat mendukung efisiensi waktu juga akan mampu meningkatkan tingkat kualitas hidup (the quality of life) orang tersebut. [Hasil studi lengkapnya akan di-publish di jurnal Environment & Urbanization tahun ini]
Dari studi di atas kita dapat melihat bahwa untuk menekan laju emisi karbon dan metan ke udara yang dapat membentuk dampak rumah kaca bagi bumi (yang mengakibatkan pemanasan global!), dibutuhkan berbagai upaya meliputi: desain ruang kota dan perencanaan tata guna lahan yang tepat; penggunaan sumber tenaga listrik ramah lingkungan (seperti sumber hydro, solar dan angin); efisiensi penggunaan listrik pada bangunan dan rumah tinggal; serta efisiensi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Selain itu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengimbangi emisi karbon, menyerap polutan dan debu sebagai hasil aktifitas masyarakat modern, serta mengurangi efek urban heat island akibat konsentrasi pembangunan dan kegiatan manusia di wilayah perkotaan adalah dengan bertanam [lebih banyak] pohon! Informasi lain terkait pengaruh pohon terhadap gas polutan bisa dibaca di:
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/bukan-sekedar-pohon.html
http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2010/12/trembesi.html
Hasil penelitian Dan Hoornweg dan timnya menyisakan pertanyaan lain bagi saya. Melihat bahwa tidak satupun dari kota-kota yang disebutkan oleh Hoornweg [dan tim penelitiannya] merupakan kota yang berada di kawasan negara berkembang (developing countries), lalu kenapa gembar-gembor konsentrasi pengurangan emisi malah (seolah-olah) dilimpahkan menjadi tanggung jawab negara berkembang?
USA pernah berkeras tidak mau menandatangani perjanjian Kyoto kalau negara-negara berkembang tidak 'dipaksa' membatasi emisi karbon-nya (baca di: http://www.americans-world.org/digest/global_issues/global_warming/gw3.cfm).
Lalu dibentuk program-program khusus untuk negara berkembang, misalnya seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang bahkan UN membentuk projek khusus untuk menangani isu ini yaitu UN REDD Programme [http://www.un-redd.org/]. Dalam program seperti REDD ini negara-negara berkembang diberikan insentif untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutannya lalu implementasi dan progresnya dimonitor oleh negara-negara maju (terutama oleh negara pemberi dana). Keterlibatan Indonesia di REDD bisa dibaca di: http://acehclimatechange.org/2010/06/30/dana-perubahan-iklim-norwegia-gratis/ dan http://acehclimatechange.org/2010/07/27/badan-pengurangan-emisi-segera-dibentuk/
Bagaimana negara besar seperti USA, yang justru merupakan penyumbang terbesar emisi karbon dan metan (berdasarkan penelitian di atas) mampu 'mengatur' warga negaranya agar merubah gaya hidup penyumbang polusi menjadi lebih bertanggung jawab terhadap seluruh warga dunia lainnya? Lalu bagaimana kita sebagai warga negara berkembang bisa ikut mengawasi progres yang mereka lakukan untuk secara signifikan menekan pengurangan emisi dari negaranya? Mudah-mudahan saya bisa segera memperoleh jawaban untuk kelanjutan tulisan ini :)
Sheffield . 19 February 2011
http://news.nationalgeographic.com/news/energy/2011/02/pictures/110209-surprisingly-dirty-cities-science-environment-global-warming-greenhouse/#/gassiest-cities-greenhouse-gas-co2-rotterdam_32050_600x450.jpg