Pernah merasa di-bully alias diperlakukan semena-mena oleh teman di sekolah, di lingkungan pergaulan atau di lingkungan kerja? Pernah jadi korban bullying sehingga merasa tertekan alias depresi?
Bullying bukanlah isu baru di sekitar kita. Bullying sudah terjadi sejak berabad lampau dan terjadi di seluruh dunia, dalam segala tatanan budaya dan sosial. Beberapa novel dalam peradaban Eropa yang ditulis pada tahun 1800-an sudah mengajak pembacanya untuk menanggapi bullying secara serius. Kesadaran tentang buruknya dampak bullying baru berkembang beberapa dekade terakhir, sehingga berbagai negara maju seperti UK dan USA kemudian mengeluarkan produk hukum untuk ‘menertibkan’ bullying.
Menurut wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Bullying), bullying merupakan tindak agresif yang berwujud tekanan atau kekerasan yang mengganggu atau menimbulkan rasa tidak nyaman pada seseorang atau pihak tertentu. Tindakan bullying dapat berbentuk kekerasan verbal (dilampiaskan dalam bentuk kata-kata) dan emosional juga kekerasan fisik. Bullying biasanya terjadi dalam kondisi adanya ketidakseimbangan kekuasaan (power), sehingga pihak yang menjadi target tidak dapat melawan dan tindakan ini cenderung dilakukan berulang-ulang terhadap korbannya.
Menurut artikel di wikipedia tersebut, dalam banyak kasus bullying terjadi atas dasar perbedaan ras, agama, gender, seksualitas dan kemampuan (ability).
Saya sendiri pernah menjadi korban bullying semasa bersekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Sayangnya dalam usia sekecil itu dulu saya tidak pernah mendapat pengetahuan mengenai bullying. Saya selalu merasa tertekan akibat perlakuan teman, kondisi tertekan yang saya rasakan terasa lebih berat karena saya tidak bisa berkomunikasi dengan orang tua tentang apa yang saya alami di sekolah. Syukurnya, saya berhasil melewati masa-masa sulit di sekolah dan tetap berprestasi. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa perlakuan keras (abuse) dari teman sebaya di usia muda sedikit banyak mempengaruhi perkembangan emosional saya hingga saat ini.
Tindakan bullying yang dilakukan secara langsung tanpa perantara media digital dikenal sebagai traditional bullying. Pesatnya perkembangan teknologi digital kemudian melahirkan bullying varian baru, yaitu cyber-bullying.
Saya tertarik menulis tentang bullying hari ini karena baru saja saya mengalami peristiwa yang saya percaya adalah salah satu bentuk cyber-bullying melalui situs jejaring sosial dalam sebuah online game yang selama ini saya gemari yaitu Scrabble.
Mungkin sudah setahun lebih saya menjadi bagian dari para penggemar Scrabble online yang dapat dimainkan dengan lawan dari hampir seluruh dunia. Kenapa saya katakan 'hampir' karena game yang saya mainkan dapat dimainkan oleh siapa saja di berbagai negara kecuali USA dan Canada.
Dalam game ini saya bisa berhadapan dengan opponent yang bukan saja berasal dari UK tapi juga New Zealand, Australia, India, Dubai (UAE), Sri Lanka, Indonesia, dan lain-lain.
Game ini menyediakan fasilitas chat yang memungkinkan kita berkomunikasi dengan lawan bermain. Selama lebih dari setahun saya memainkan Scrabble online, belum pernah saya mengalami verbal abuse melalui fasilitas chat tersebut. Namun saya mengalaminya hari ini. Awalnya permainan berjalan lancar, kami sama-sama mengeluarkan huruf-huruf terbaik untuk menghasilkan score tertinggi. Namun tiba-tiba di tengah permainan opponent yang saya hadapi mengeluarkan statement kasar berbahasa Inggris yang tidak saya tanggapi karena saya pikir mungkin dia tidak bermaksud melampiaskannya kepada saya melainkan kepada lawan mainnya yang lain. Karena memang kita bisa bermain paralel lebih dari satu game pada waktu bersamaan sehingga kemungkinan salah entry pada fasilitas chat memang bisa saja terjadi.
Sepertinya opponent yang satu ini sedang kesal atau merasa tidak beruntung di tengah permainan, sehingga walaupun saya tidak menanggapi kata-kata kasarnya dia melanjutkan verbal abuse nya dengan kalimat lain lalu mengambil langkah 'pass', alias menyerahkan langkah permainan selanjutnya pada saya. Hal ini tentu saja membuat saya merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin dalam sebuah permainan global di mana kita cenderung akan berhadapan dengan orang asing, seseorang bisa berlaku/bertutur sangat kasar pada orang yang sama sekali tidak dikenalnya?
Saya pikir mungkin saya bukan 'korban' bullying pertama si opponent, dan mungkin pula bukan korban terakhir. Saya lalu melakukan reporting ke penyedia situs jejaring sosial tersebut dengan alasan bahwa si pemilik account yang saya laporkan telah melakukan tindakan harassment. Saya tidak tau langkah apa yang lalu dilakukan oleh si penyedia situs tersebut, tapi yang pasti permainan kami kemudian berakhir setelah si opponent yang bermasalah tadi menghentikan permainan melalui pilihan 'forfeit' alias menyerah.
Peristiwa ini lalu mengingatkan saya pada maraknya berita tentang 'cyber-bullying' pada beberapa tahun terakhir. Di Amerika beberapa orang remaja memilih bunuh diri akibat cyber-bullying. Kasus yang terkenal adalah kasus Megan Meier yang menghabisi hidupnya dengan gantung diri di kamarnya akibat kekerasan dan pelecehan verbal yang dialaminya melalui account pribadinya di MySpace. Lalu Tyler Clementi, remaja berbakat yang memilih terjun dari jembatan George Wahington di Manhattan akibat teman sekamarnya tanpa sepengetahuannya mengekspos video aktifitas pribadinya dengan pasangan gay-nya melalui fasilitas live-streaming.
Susan Swearer dalam sebuah artikel di Washington Post menyebutkan bahwa kasus cyber-bullying akan terus meningkat seiring dengan menderasnya penggunaan piranti teknologi digital seperti komputer dan telepon selular serta kemudahan akses internet melalui wi-fi di ruang-ruang publik.
Walaupun cyber-bullying bisa saja menimpa orang dewasa dalam bentuk pelecehan verbal, ancaman, atau upaya untuk mempermalukan korban melalui situs jejaring sosial, namun yang paling meresahkan adalah dampak cyber-bullying pada anak dan remaja.
Berdasarkan dua kasus yang menimpa dua remaja di Amerika, dan pengalaman saya sendiri melalui fasilitas chatting di game online, saya pikir ada baiknya bila orang tua lebih waspada terhadap kemungkinan anak-nya akan menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying melalui internet.
Cara yang terbaik menurut saya bukan dengan melarang anak mengakses internet, karena hal ini malah akan menjadikan anak lebih aktif mencari akses di luar rumah, melainkan melalui komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. Cari tahu lalu berikan pengetahuan yang benar tentang cyber-bullying pada anak. Dengarkan pengalaman mereka berinteraksi dengan orang-orang yang dikenalnya melalui internet. Terkadang orang tua juga perlu belajar dari anak tentang teknik penggunaan piranti teknologi digital.
Kadang-kadang korban bullying tidak menyadari dirinya adalah korban, mereka hanya merasakan rasa tertekan yang berkepanjangan dalam upaya interaksinya dengan pihak-pihak tertentu. Akan sangat membantu bagi anak & remaja bila mereka memiliki orang tua yang dapat dijadikannya teman bicara dan berdiskusi tentang apa yang dialaminya.
Bukan tidak mungkin pula bahwa anak tidak menyadari bahwa dirinya adalah pelaku bully terhadap orang lain. Untuk inipun orang tua harus terbuka dan bijaksana melihat segala sisi karakter anaknya sebelum apa yang dilakukan anak kemudian membahayakan orang lain juga dirinya sendiri.
Rujukan bagi pembaca:
Swearer, Susan M., Five Myths about Bullying, from:
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/12/30/AR2010123001751.html
http://www.facebook.com/safety/groups/parents/
http://www.netplaces.com/dealing-with-bullies/what-is-bullying/history-of-bullying.htm
No comments:
Post a Comment