Thursday, 15 March 2012

Makanan Cair untuk Anak, Perlukah?

Karena khawatir melihat postur tubuh kedua anak lelakiku yang langsing (usia 7 dan 8 tahun), aku berpikir untuk menambahkan menu makanan mereka dengan suplemen makanan yang iklannya sering aku lihat di televisi. Nafsu makan anak-anakku tidak buruk, mereka makan teratur dan cenderung menyantap hidangan apapun yang disediakan mama-nya di rumah, tapi aku akui mereka bukan penggemar sayur-sayuran. Aku pikir mungkin jika dietnya ditambahi dengan suplemen makanan berat badan kedua anak ini akan meningkat lebih cepat. 

Suplemen makanan yang paling melekat dalam benakku adalah makanan cair seperti susu yang merk-nya sangat terkenal dari produsen produk kesehatan beken asal USA. Produk ini dulu iklannya dibintangi oleh penyanyi cilik yang sekarang sudah dewasa, mungkin karena dulu aku nge-fans dengan si penyanyi cilik makanya produk ini cepat sekali terekam di memori.

Seperti biasa, sebelum mulai membeli sesuatu aku suka survey-survey dulu. Selain survey harga di pasar, aku juga survey review dan artikel melalui internet. 

Hasil survey di internet ternyata cukup mengejutkan, dalam sebuah forum diskusi ibu-ibu yang juga diisi oleh Dokter Spesialis Anak (DSA) aku memperoleh banyak alasan kenapa anak sebaiknya tidak diberikan asupan makanan cair jenis itu.

Berikut adalah quote langsung dari diskusi di forum,

“...(terganggunya pertumbuhan gigi pada anak juga dipengaruhi oleh) pola makan yang salah misalnya minum susu botol pada waktu mau tidur; makanan di blender saring sampai di atas usia 9 bulan; lalu anak diberi makan makanan cair seperti merk xxxx!!!

Pertama, anak yang tidak belajar mengunyah rahangnya tidak tumbuh, gusinya tidak sehat; kedua, makanan cair seperti xxxx sebenarnya adalah untuk anak pasca operasi usus misalnya baru sambung usus, nah gak bisa dikasih makanan biasa, kasih deh makanan cair; ketiga, makanan cair seperti xxxx tidak memberikan serat, tidak memberikan  phytochemicals, zat yang berguna untuk mencegah kanker, diabetes dan   penyakit jantung.
Mulai deh makan biasa aja, biar aja sedikit asal sering." Quote di atas adalah tanggapan yang diberikan oleh seorang Dokter Spesialis Anak (DSA).

Seorang ibu anggota forum juga menambahkan materi diskusi dengan cukup bijak:
“Di situsnya si produsen makanan cair merk xxxx  jelas lho disebut bahwa produk tersebut adalah Therapeutic Nutrient atau Nutrisi untuk Pengobatan yang ditujukan untuk anak-anak yang sakit berat & operasi besar sehingga kesulitan mencerna. Dengan demikian, mengkonsumsi xxxx  (dan produk sejenisnya) berarti anak tidak menggunakan alat (system) pencernaan dengan sempurna  dan  maksimal. Dan jangan lupa.. pencernaan dimulai dari di mulut.. karena sewaktu mengunyah, kita menghasilkan enzim-enzim juga yang berperan membantu lambung nantinya untuk mengolah makanan. Ini ternyata penting lho teman-teman.. karena banyak masalah pencernaan yang muncul (mungkin tidak sekarang, tapi di hari depan anak-anak kita) yg disebabkan rantai pencernaan ini  tidak berfungsi akibat keseringan kita by-pass (dari mulut -glek langsung ke lambung.. tidak lewat proses dikunyah).

Satu hal lagi yg merupakan pengalaman nyataku, sebagai orangtua dari seorang anak yg mengalami   keterlambatan bicara. Beberapa dokter yang kami datangi waktu memeriksakan   anakku itu bertanya "Umur berapa mulai makanan padat?" dan "Bagaimana pola makannya?" Dulu aku pikir, “Ah..  apa pula hubungannya makan dengan bicara!#$$%^!!”

Tapi ternyata dengan makan makanan padat, organ bicara kita, khususnya otot-otot oromotor kita berlatih, dan ini sangat membantu membentuk kemampuan bicara anak. Menurut DSA-ku, sudah dibuktikan melalui  penelitian bahwa semakin lama anak makan-makanan yang lunak (apalagi cair!) dan jarang menggunakan mulutnya untuk mengunyah yang padat, peluang  terjadinya kesulitan bicara juga semakin besar.

Begitulah kebesaran Tuhan, menciptakan semua organ tubuh saling berkait, yang satu membantu mempersiapkan fungsi dan kemampuan organ lain. Mudah-mudahan kita bisa menjaga amanah yang luar biasa itu sebaik-baiknya. Aamiin!

Tanggapan lanjutan dari DSA dalam forum tersebut adalah sebagai berikut,
“...Adalah hak ibu-ibu untuk menentukan, tetapi sebaiknya teliti ketika membeli, itu  pepatah kuno yang tidak lekang oleh waktu. Produk xxxx adalah makanan cair untuk anak sakit berat. Di lain pihak dalam ilmu kesehatan tidak   ada jalan pintas, makan ya makan, dalam bentuk sefisiologis mungkin (itu istilah medisnya) atau se-natural mungkin (dalam istilah awamnya). Makan harus ada seratnya, ada phytikimia-nya. Makan adalah experience and entertainment (pengalaman dan hiburan) bukan sekedar agar anak gemuk.

Pemberian makan cair hanya untuk anak sehabis operasi pemotongan usus dan kasus gawat lainnya. Pemberian makan cair untuk jangka panjang tentunya akan mempengaruhi kinerja saluran pencernaan kita, antara lain: rahang menjadi kecil, letak gigi menjadi tidak beraturan, dan sebagainya.”

Membaca informasi dan pengalaman yang dibagi oleh DSA dan seorang ibu di atas membuat aku merasa beruntung tidak gegabah membeli produk suplemen makanan cair karena galau dan tergoda iklan. 

Semoga info ini bermanfaat bagi ibu-ibu lainnya yang mungkin sedang galau dengan kondisi berat badan buah hatinya.

Friday, 9 March 2012

Parenting Tips: The Importance of Spending Time with Your Children

Berawal dari posting-an seorang teman di facebook tentang pentingnya orang tua mempertimbangkan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak (the quantity of time), aku kemudian mencoba mencari info tentang time quality versus quantity. Banyak orang yang berkilah bahwa quality alias kualitas waktu yang diluangkan bersama anak jauh lebih penting ketimbang quantity alias jumlah waktunya. Apakah benar demikian? Silakan baca artikel yang dihubungkan ke dalam tulisan ini. Selamat menambah wawasan!
Parenting Tips: The Importance of Spending Time with Your Children

Monday, 2 January 2012

Cyber Bullying


Pernah merasa di-bully alias diperlakukan semena-mena oleh teman di sekolah, di lingkungan pergaulan atau di lingkungan kerja? Pernah jadi korban bullying sehingga merasa tertekan alias depresi?

Bullying bukanlah isu baru di sekitar kita. Bullying sudah terjadi sejak berabad lampau dan terjadi di seluruh dunia, dalam segala tatanan budaya dan sosial. Beberapa novel dalam peradaban Eropa yang ditulis pada tahun 1800-an sudah mengajak pembacanya untuk menanggapi bullying secara serius. Kesadaran tentang buruknya dampak bullying baru berkembang beberapa dekade terakhir, sehingga berbagai negara maju seperti UK dan USA kemudian mengeluarkan produk hukum untuk ‘menertibkan’ bullying.

Menurut wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Bullying), bullying merupakan tindak agresif yang berwujud tekanan atau kekerasan yang mengganggu atau menimbulkan rasa tidak nyaman pada seseorang atau pihak tertentu. Tindakan bullying dapat berbentuk kekerasan verbal (dilampiaskan dalam bentuk kata-kata) dan emosional juga kekerasan fisik. Bullying biasanya terjadi dalam kondisi adanya ketidakseimbangan kekuasaan (power), sehingga pihak yang menjadi target tidak dapat melawan dan tindakan ini cenderung dilakukan berulang-ulang terhadap korbannya.

Menurut artikel di wikipedia tersebut, dalam banyak kasus bullying terjadi atas dasar perbedaan ras, agama, gender, seksualitas dan kemampuan (ability). 

Saya sendiri pernah menjadi korban bullying semasa bersekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Sayangnya dalam usia sekecil itu dulu saya tidak pernah mendapat pengetahuan mengenai bullying. Saya selalu merasa tertekan akibat perlakuan teman, kondisi tertekan yang saya rasakan terasa lebih berat karena saya tidak bisa berkomunikasi dengan orang tua tentang apa yang saya alami di sekolah. Syukurnya, saya berhasil melewati masa-masa sulit di sekolah dan tetap berprestasi. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa perlakuan keras (abuse) dari teman sebaya di usia muda sedikit banyak mempengaruhi perkembangan emosional saya hingga saat ini.

Tindakan bullying yang dilakukan secara langsung tanpa perantara media digital dikenal sebagai traditional bullying. Pesatnya perkembangan teknologi digital kemudian melahirkan bullying varian baru, yaitu cyber-bullying.

Saya tertarik menulis tentang bullying hari ini karena baru saja saya mengalami peristiwa yang saya percaya adalah salah satu bentuk cyber-bullying melalui situs jejaring sosial dalam sebuah online game yang selama ini saya gemari yaitu Scrabble. 

Mungkin sudah setahun lebih saya menjadi bagian dari para penggemar Scrabble online yang dapat dimainkan dengan lawan dari hampir seluruh dunia. Kenapa saya katakan 'hampir' karena game yang saya mainkan dapat dimainkan oleh siapa saja di berbagai negara kecuali USA dan Canada.
Dalam game ini saya bisa berhadapan dengan opponent yang bukan saja berasal dari UK tapi juga New Zealand, Australia, India, Dubai (UAE), Sri Lanka, Indonesia, dan lain-lain.  

Game ini menyediakan fasilitas chat yang memungkinkan kita berkomunikasi dengan lawan bermain. Selama lebih dari setahun saya memainkan Scrabble online, belum pernah saya mengalami verbal abuse melalui fasilitas chat tersebut. Namun saya mengalaminya hari ini. Awalnya permainan berjalan lancar, kami sama-sama mengeluarkan huruf-huruf terbaik untuk menghasilkan score tertinggi. Namun tiba-tiba di tengah permainan opponent yang saya hadapi mengeluarkan statement kasar berbahasa Inggris yang tidak saya tanggapi karena saya pikir mungkin dia tidak bermaksud melampiaskannya kepada saya melainkan kepada lawan mainnya yang lain. Karena memang kita bisa bermain paralel lebih dari satu game pada waktu bersamaan sehingga kemungkinan salah entry pada fasilitas chat memang bisa saja terjadi.

Sepertinya opponent yang satu ini sedang kesal atau merasa tidak beruntung di tengah permainan, sehingga walaupun saya tidak menanggapi kata-kata kasarnya dia melanjutkan verbal abuse nya dengan kalimat lain lalu mengambil langkah 'pass', alias menyerahkan langkah permainan selanjutnya pada saya. Hal ini tentu saja membuat saya merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin dalam sebuah permainan global di mana kita cenderung akan berhadapan dengan orang asing, seseorang bisa berlaku/bertutur sangat kasar pada orang yang sama sekali tidak dikenalnya? 

Saya pikir mungkin saya bukan 'korban' bullying pertama si opponent, dan mungkin pula bukan korban terakhir. Saya lalu melakukan reporting ke penyedia situs jejaring sosial tersebut dengan alasan bahwa si pemilik account yang saya laporkan telah melakukan tindakan harassment. Saya tidak tau langkah apa yang lalu dilakukan oleh si penyedia situs tersebut, tapi yang pasti permainan kami kemudian berakhir setelah si opponent yang bermasalah tadi menghentikan permainan melalui pilihan 'forfeit' alias menyerah.

Peristiwa ini lalu mengingatkan saya pada maraknya berita tentang 'cyber-bullying' pada beberapa tahun terakhir. Di Amerika beberapa orang remaja memilih bunuh diri akibat cyber-bullying. Kasus yang terkenal adalah kasus Megan Meier yang menghabisi hidupnya dengan gantung diri di kamarnya akibat kekerasan dan pelecehan verbal yang dialaminya melalui account pribadinya di MySpace. Lalu Tyler Clementi, remaja berbakat yang memilih terjun dari jembatan George Wahington di Manhattan akibat teman sekamarnya tanpa sepengetahuannya mengekspos video aktifitas pribadinya dengan pasangan gay-nya melalui fasilitas live-streaming.

Susan Swearer dalam sebuah artikel di Washington Post menyebutkan bahwa kasus cyber-bullying akan terus meningkat seiring dengan menderasnya penggunaan piranti teknologi digital seperti komputer dan telepon selular serta kemudahan akses internet melalui wi-fi di ruang-ruang publik.

Walaupun cyber-bullying bisa saja menimpa orang dewasa dalam bentuk pelecehan verbal, ancaman, atau upaya untuk mempermalukan korban melalui situs jejaring sosial, namun yang paling meresahkan adalah dampak cyber-bullying pada anak dan remaja.

Berdasarkan dua kasus yang menimpa dua remaja di Amerika, dan pengalaman saya sendiri melalui fasilitas chatting di game online, saya pikir ada baiknya bila orang tua lebih waspada terhadap kemungkinan anak-nya akan menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying melalui internet. 

Cara yang terbaik menurut saya bukan dengan melarang anak mengakses internet, karena hal ini malah akan menjadikan anak lebih aktif mencari akses di luar rumah, melainkan melalui komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. Cari tahu lalu berikan pengetahuan yang benar tentang cyber-bullying pada anak. Dengarkan pengalaman mereka berinteraksi dengan orang-orang yang dikenalnya melalui internet. Terkadang orang tua juga perlu belajar dari anak tentang teknik penggunaan piranti teknologi digital.

Kadang-kadang korban bullying tidak menyadari dirinya adalah korban, mereka hanya merasakan rasa tertekan yang berkepanjangan dalam upaya interaksinya dengan pihak-pihak tertentu. Akan sangat membantu bagi anak & remaja bila mereka memiliki orang tua yang dapat dijadikannya teman bicara dan berdiskusi tentang apa yang dialaminya.

Bukan tidak mungkin pula bahwa anak tidak menyadari bahwa dirinya adalah pelaku bully terhadap orang lain. Untuk inipun orang tua harus terbuka dan bijaksana melihat segala sisi karakter anaknya sebelum apa yang dilakukan anak kemudian membahayakan orang lain juga dirinya sendiri.

Rujukan bagi pembaca:
Swearer, Susan M., Five Myths about Bullying, from:
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/12/30/AR2010123001751.html 

http://www.facebook.com/safety/groups/parents/ 

http://www.netplaces.com/dealing-with-bullies/what-is-bullying/history-of-bullying.htm